Buku dari kumpulan kertas putih yang terkumpul tanpa guratan tangan tanpa tanda bacaan. Â Lembaran kosong masih membisu hanya tatapan nanar menunggu jemari tangan menyapa.
Menyambut, merangkul dalam dekapan kasih sayang dan tulisan sang puan dan tuan. Kertas putih yang tertulis terlihat dari matanya bibirnya dan telinganya kepada siapa.
Meskipun jari tangan mungilnya belum mampu menyeka air mata, menutup telinga dan mulut yang terbuka. Bersembunyi dibalik senyumannya yang lucu. Menangis sejadi-jadinya. Menjerit sekeras-kerasnya.
Kertas putih itu seiring waktu berjalan. Telah terisi tinta pertama goresan kata tentang tutur tata baca. Pertama menjadi kata kisah panjang sejak terlahir menjadi kertas putih tanpa ada titik atau koma.
Kertas putih itu terus tumbuh seiring waktu dengan tangan dan kakinya yang semakin kukuh. Â Sudah semakin mampu membaca alam dan menulis pengalaman. Memilah perjalanan.
Dari apa yang ia baca dan apa yang mesti ia tuliskan. Disetiap lembaran yang mulai terkumpul membentuk sebuah buku.
Buku itu tertawa membuka lembaran lama berdebu. Kertas putih yang pernah tertulis di waktu itu. Kumpulan goresan ejaan riwayat kata dari perjalanan kertas putih yang terlanjur tertulis.
Bercak tinta, tetesan air hujan bahkan tumpahan kopi hitam menjadi warna tulisan cerita terlewatkan.
Lalu berkata, untung buku itu tidak terbakar atau terendam dalam kubangan lumpur, sehingga aku masih selalu dapat membaca. Dan tahu cara memperbaikinya meskipun tidak bisa menghapus jejak waktu.
Dengan membuka lembaran baru kisah akhir sebagai titik kesimpulan arti tentang kehidupan. Arti sebuah perjalanan, pelajaran tulisan masa lalu, kini atau nanti adalah saran di penghujung usia senja.Â
Hikmah bagi dari kumpulan  kisahku. Buku.
Curup, 24 Maret 2021
Ibra Alfaroug
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H