Berbicara tentang kritik, erat dengan protes terhadap sesuatu yang dianggap tidak pantas untuk dilakukan baik berupa kebijakan maupun tindakan.Â
Yang dilakoni seseorang atau atas nama organisasi bahkan lembaga tinggi negara sekalipun yang dianggap berpotensi melanggar kaidah-kaidah tertentu yang cenderung berdampak tidak baik.
Dasar kritis pada intinya adalah mengingatkan, meluruskan ke arah yang lebih logis, humanis, dan ekonomis. Bagaimana sesuatu itu dilakukan dengan baik dan benar. Bertujuan ke hal yang positif, meminimalisasi dampak yang ditimbulkan serta upaya mencermati tindakan dan kebijakan secara seksama.
Apakah kritik itu salah?
Bisa salah, bisa juga tidak. Kembali kepada sang pengkritik yang menilai. Ada dua dasar menurut awamologi tentang kritik.
Pertama, apakah kritiknya yang dilayangkan secara lisan ataupun tertulis bersifat subyektif atau objektif.
Kedua, sasaran kritik menuju pada personnya yang dikritik atau kebijakan dan tindakannya yang dikritik.
Baiknya, selagi kritik memiliki tujuan baik demi kemaslahatan bersama, maka kritik sangat dianjurkan toh. Daripada semua diam tanpa ada yang mengingatkan sang sopir salah jalan, lima langkah lagi akan masuk jurang, sang sopir melamun, pada akhirnya berdampak pada seluruh penumpang bahkan sopir itu sendiri bukan.
Pada sisi lain, kebiasaan kritik tanpa menganalisis terlebih dahulu juga salah menurut awamologi. Yang pada ujungnya bisa menjadi bumerang bagi sang pengkritik.Â
Dalam artian asal bunyi (asbun), ketika diminta untuk berpendapat terhadap sebuah kebijakan pemerintah misalnya. Sang kritikus belepotan menjelaskan, juga malu kan.
Lebih berbahayanya lagi si kritikus dibenturkan dengan hukum, yaitu Undang-Undang ITE yang berlaku sekarang. Mengkritik berujung sial bin apes, boro-boro mau berbuat baik mungkin, tapi harus "kos" di balik jeruji besi sebagai tahanan. Akibat mengkritik.