Belajar Menulis dan Membaca
Ada sebuah perkataan yang menggelitik dari komedian tanah air, yaitu Cak Lontong. Menyatakan manakah yang dahulu antara membaca dan menulis?
Dengan sigap, rekan-nya menyatakan menulis. Lalu Cak Lontong pun langsung membantah argumen tersebut. Seseorang tidak akan bisa menulis jika tidak bisa membaca. Atau tak pernah mau membaca, sebagai bahan tuk menulis, Ujarnya.
Lalu, teman menjawab membaca jawab rekan yang lain. Cak Lontong pun menyangkal lagi, mau membaca apa jika tidak ditulis.
Kelakar ini memiliki "satire" yang halus dalam membaca ataupun menulis. Menurutku saat menonton lawakan Komedian Cak Lontong ini, dalam simpulku bahwa membaca secara holistik, menulis harus hati-hati dan harus dilatih.
Sehingga kontens-kontens yang ditulis siapa pun itu dapat dicerna dan mengandung nilai dan bermanfaat. Khususnya buat pembaca, nah salah satu alasan ketika share tulisan seseorang sebaiknya dibaca dahulu, kan.Â
Jangan sampai niat baik membagikan informasi kepada orang lain justru memberikan dampak buruk bagi yang ngesahre. Dan salah paham bagi publik, lebih-lebih informasi hoaks yang dibagikan.
So, jika membaca, luangkan waktu untuk menulis. Jika menulis, luangkan untuk membaca. Karena dunia literasi tidak bisa terlepas akan dua hal ini bukan, yakni membaca dan menulis.
Mengingatkan akan fase-fase kupu-kupu yang berawal dari telur menjadi ulat, lalu menjadi larva, lalu menjadi kepompong sampai menjadi kupu-kupu. Menunjukan tahapan panjang untuk menjadi kupu-kupu sempurna.
Fase-fase inilah  menjadikan kupu-kupu itu menjadi indah. Analogi ini relevan bagi sang penulis? Saya yakin semua penulis handal barangkali mengalami hal ini. Telah melewati perjalanan panjang dalam tulis menulis.
Bahwa pengharapan atau keinginan bukan datang dengan sendirinya secara kebetulan tetapi dengan usaha penuh gerakan untuk melewati tangga-tangga  dalam mencapai sebuah kesempurnaan.Â
Perubahan merupakan sesuatu yang didambah-dambahkan bagi kita dan pasti, pernah, ingin  dan akan mengalami perubahan. Keinginan berubah adalah bentuk hasrat manusiawi yang dinamis dan alami.
Kita selalu berharap menjadi lebih baik dalam hal ini. Hanya saja memang tak bisa dipungkiri kalau kadang perasaan ragu dan takut akan menghantui kita setiap kali melakukan/memulai sesuatu.Â
Bahkan terkadang kita selalu memandang kelebihan dimiliki orang lain, seakan pelangi selalu diatas kepala orang lain.
Yups, mustahil diperoleh hanya dalam waktu abra kadabra alias bim salabin. Ada tangga-tangga panjang yang harus dilewat dan dilalui. tidak mungkin rasanya kita mendapatkan yang kita mau kalau kita cuma berangan-angan saja dalam logika dan wacana tanpa eksekusi.
Ini  butuh proses panjang, dilakukan dengan sepenuh hati dan bertindak dengan hati pula. Kalau ada impian besar yang mau diraih, ikut proses dan langkah demi langkah untuk mendapatkannya.
Tetapi, maukah kita seperti mereka? Mampukah kita? siapkah kita ? Dan apa yang harus kita lakukan ketika kita ingin seperti mereka? Adakah perubahan bagi kita? Inilah deretan pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab bagi yang ingin mencoba menjadi penulis.
Khususnya buat saya sendiri saat ini, yang sangat awam dengan ilmu tulis menulis. Namun, saya masih ingat pesan seseorang yang kuanggap sebagai motivator "sing penting nulis, nanti kau akan temukan corakmu sendiri, dan dari tidak bisa kau akan menjadj terbiasa". Sing penting rajin nulis dan juga harus membaca tulisan orang lain.
Kembali pada cerita sang Kupu-kupu, perubahan bentuk, warna, level, strata, identitas, status dan sebagainya adalah implikasi akan perubahan yang penting, tetapi tidak melupakan esensi perubahan itu sendiri.
Dalam artian, kualitas yang membumi bukan melangit dan tidak melupakan akan rasa dan pikir dalam menuang sebuah ide atau gagasan, dari bumi mengeluarkan, dari langit meneteskan.
SALAM
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H