Pendek kata syiar agama apapun tidak akan berkembang dengan baik jika tidak melakukan pendekatan terhadap budaya mereka miliki. Tanpa berkonfrontasi kepada ajaran pendahulu. Adalah cara efektif dan efisien akhirnya bisa diterima.
Artinya pembauran terhadap budaya setempat pada konteks akumulasi konsep dan Infiltrasi pada budaya Masyarakat. Lebih baik penerimaannya ketimbang memaksakan konsep secara memaksa. Tanpa kekerasan.
Jikalau masih dipaksakan maka pergesek-kan yang tidak diinginkan berakhir pada polemik ya konflik. Terutama pada masyarakat yang memilki tradisi yang telah bersahaja. Telah kokoh sejak lama.
Membangun diri tanpa harus merombak total sistem adat istiadat yang ada, dan menerima kenyataan tersebut sebagai suatu proses sejarah yang harus dan mesti terjadi.
Bahkan Islam memanfaatkan keberagaman itu untuk meningkatkan perikehidupan, mematuhi misi ajaran Islam untuk berusaha menciptakan kesejahteraan hidup di dunia dan menyongsong pencapaian keselamatan kehidupan di akhirat.
Bukti-bukti sejarah pengembangan Islam di Rejang, menunjukkan bahwa keberagaman kebudayaan dan perikehidupan masyarakat Islam di Rejang mempunyai hubungan timbal balik. Antara kultur leluhur dan Islam
Selain menjadi kenyataan sejarah yang harus diterima, keberagaman ini juga sekaligus menunjukkan bahwa tingkat fleksibelitas dari ajaran Islam dan para penyiar agama itu sendiri.
Kembali kesubjudul diatas kepercayaan Animisme nenek moyang Orang Rejang Sebelum Islam.Â
Misalnya ketika ritual adat, tradisi Kampung yang masih berlaku seperti Empuk Sadie (Cuci Kampung), Blangea Agung (penyucian diri), dan Tamabes Sadie (pengembalian desa seperti sedia kala).
Kegiatan-kegiatan ritual ini baik seperti Sedekeak Bumei (Sedekah Bumi) Atau Tepung Stawe'a (Tepung Setawar) telah menjadi adat-istiadat suku Rejang yang bernuansa Islam.
Sehingga hubungan antara agama dan budaya menjadi sulit untuk dipisahkan. Hubungan adat yang sejalan dengan syariat dianggap telah mewakili cara pandang Islam tradisional.