Mohon tunggu...
Ibra Alfaroug
Ibra Alfaroug Mohon Tunggu... Petani - Dikenal Sebagai Negara Agraris, Namun Dunia Tani Kita Masih Saja Ironis

Buruh Tani (Buruh + Tani) di Tanah Milik Sendiri

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

BLT dan Mentalitas Bangsa Kita

1 Juli 2020   13:02 Diperbarui: 1 Juli 2020   13:05 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrated by: aspek.id

Wacana pemerintah untuk memperpanjang kebijakan dalam pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT), yang semulanya dijadwalkan hanya 3 bulan diberikan kepada warga/masyarakat menjadi penambahan waktu sampai dengan bulan September mendatang.

Dalam wacana ini, ada perbedaan nominal diantara 600 ribu menjadi 300 ribu apabila kebijakan direalisasikan. Bentuk dari kebijakan pemerintah dalam menangani imbas dari pandemi Covid19 yang melanda dunia saat ini. Yang telah menghantam dan meluluhlantakan berbagai sisi kehidupan manusia.

Beragam kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya Pemberian Langsung Tunai ada sedikit beberapa evaluasi versiku, sehubungan muncul berbagai kesenjangan yang menimbulkan kegaduhan dimasyarakat. Antara pihak pemberi/penyalur bantuan dengan pihak/masyarakat sebagai penerima bantuan.

Karena tak jarang banyak terjadi permasalahan yang ditimbulkan, menjadi permasalahan yang serius dimasyarakat. Seperti perseteruan masyarakat berakhir menjadi penganiyaan, bahkan berujung ke proses hukum pun terjadi. Bentuk ketidakpuasaan masyarakat yang merasa penyaluran tidak tepat pada sasaran.

Kepala Desa beserta perangkat menjadi sorotan seakan dengan pemberian Bantuan ini adalah sebuah dilema, satu sisi untuk meralisasikan program disisi lain akan menerima ujaran kebencian masyarakat, jika sedikit ada kekeliruan dalam memberikan bantuan.

Di sisi lain proses seleksi pemberian bantuan bahkan terjadi melalui seleksi instansi/kementrian di daerah terkadang tanpa koordinasi kepada desa tertentu, alhasil terjadilah tumpangtindih bantuan di masyarakat. Permasalahan-permasalahan ini menimbulkan terjadinya misskomunikasi yang berujung permasalahan tumpangtindih bantuan tersebut.

Sebagai contoh kasus, penerima bantuan PKH. Dimana rekrutmen masyarakat penerima bukan melalui desa, tapi melainkan melalui pendamping lapangan yang telah ditetapkan oleh kemetrian sosial. Juga termasuk bantuan-bantuan lain, kerap terjadi tanpa melalui desa dalam rekrutmen penerima bantuan.

Didalam salah satu kriteria penerima BLT di jelaskan, bahwa penerima bantuan PKH. Tidak mendapati/menerima bantuan ini. Namun, dikarenakan didesa tidak dilibatkan dalam seleksi penerima PKH, maka tumpah tindih bantuan kerap terjadi.

Di lain sisi ada kondisi pandemi saat ini, ada sebuah istilah kata "kemuliaan dan kesempatan". Secara naluri jiwa kedermawanan seseorang menjadi catatan penting untuk diperlihatkan kepada saudara-saudara kita yang semakin terpuruk akibat dari pandemi ini.

Secara "kesempatan" moment penting bagi segelintir orang untuk menari-nari diatas derita orang lain seperti pribahasa "menggunting lipatan". Penomena-penomena kerap terjadi bahkan viral di media social.

Penimbunan masker-kah, bantuan tertera gambar pejabat daerah-kah,  seakan bantuan pribadi yang kental dengan nuansa politis, materialis ketimbang nilai-nilai kemanusian. Peristiwa ini mungkin juga terjadi disaat menjelang pilkada dibeberapa daerah.

Bahkan, ada sebuah rumor yang terbaca, pejabat menggunakan APBD hanya untuk membeli masker dengan nilai milyaran rupiah,  untuk dibagikan kemasyarakatnya. Yang menjadi sebuah pernyataan, apakah hanya masker yang bisa diberikan, mengapa tidak dengan hal yang berhubungan kebutuhan sehari-hari diprioritaskan?

Jangan-jangan, nuansa politis menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) pandemi  seakan menajadi tunggangan, bentuk sebuah strategi pemenangan, oleh candidat-kan.

Kembali kepada BLT pandemi saat ini, ada sebuah pembelajaran penting yang layak dijadikan kajian secara bersama. Berdasar fenomena lapangan yang penulis amati, mentalitas bangsa kita, menurutku sih!

Pertama, mentalitas serakah. Ada sebuah perdebatan di masyarakat antara perangkat desa dengan seseorang yang waktu itu, tidak mendapati bantuan. Dengan nada kesal sedikit marah menyatakan pemberian tidak adil.

Sedangkan dilihat dari sisi ekonomi, sangat tak layak. Memiliki mobil, rumah besar, dan usaha cukup besar ukuran di pedesaan. Namun, apabila dihubungkan dengan bantuan apapun itu, tak jarang mental-mental ini ada dimasyarakat.

Kedua, mentalitas ketidakjujuran. Didalam salah satu kriteria penerima BLT dijelaskan bahwa yang menerima bantuan PKH dan bantuan lainnya, disampaikan tidak bisa menerima BLT.

Kerena data-data penerima Bantuan tidak melalui koordinasi desa, berakibat adanya tumpang tindih di masyarakat. Apabila ditanya kepada mereka menerima PKH apa tidak, sangat jarang ada yang berani berkata jujur.

Ketiga, mentalitas pengemis. Inilah salah satu penyakit yang bahkan terjadi, meminta-minta bantuan. Dengan beragam alasan untuk mendapati apapun itu bantuan, dan rela menjual harga diri kepada orang lain.

Semoga fenomena-fenomena ini, dapat menjadi pembelajaran bersama. Bahwa mentalitas seperti ini menjadi sebuah evaluasi untuk mendatang. Bencana ini mampu menunjukan bentuk mentalitas-mentalitas asli bangsa kita, yang jadi catatan penting.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun