Keterpilihan Surya Paloh dan Megawati sebagai ketua umum partai Nasdem dan ketua umum PDI Perjuangan secara aklamasi seakan memberikan pandangan bahwa tingkat pengaruhnya di dalam parpol yang mereka pimpin selama ini sangatlah besar.
Hal ini dibuktikan dengan terpilihnya kembali, tanpa mempunyai kompetitor untuk menduduki tampuk kepemimpinan partai. Dan memiliki dukungan penuh dari berbagai unsur-unsur dalam parpol yang memiliki hak suara untuk memilih. Pendek kata, tanpa adanya persaingan diantara sesama anggota partai.
Kejadian seperti ini juga dialami oleh PKB yang dipimpin Muhaimin Iskandar, Gerindra yang dipimpin oleh Prabowo Subianto, Demokrat dengan SBY-nya. Sangat berbeda dengan Golkar dalam beberapa kurun telah beberapa kali pergantian ketua, baik dizaman Akbar Tanjung, Jusuf Kala, Abu Rizal Bakrie, hingga Erlangga Sutarto pada saat ini. Begitu juga dengan PAN maupun PKS, beberapa kali pemilihan ketua yang baru.
Fenomena-fenomena "kekuatan figur" yang masih bertumpu pada satu atau beberapa orang, dalam konteks kaderisasi partai seakan dipertanyakan. Pasalnya, eksistensi parpol dimasa mendatang, ketika orang-orang tersebut tidak bisa lagi untuk eksis dalam ranah politik praktis, masih-kah partainya mampu berjaya.
Implikasi permasalahan parpol tak ubah seperti sebuah perusahaan pribadi, tampuk kekuasaan seperti barang warisan turun temurun, dari sang ayah, ke anak dan seterusnya. Sehingga parpol sebagai milik perseorangan. Yang bebas menentukan sesuatu dengan sebuah kewenangan penuh tanpa bisa diganggu gugat.
Mirisnya, anggota parpol lain tak ubah seperti penunggu rumah kontrakan, apabila majikan sang pemilik rumah tidak suka, kemungkinan besar akan terusir dari kontrakan. Untuk itu, asalkan majikan senang tak jarang bermacam daya pun akan dilakukan.
Sehebat apapun dalam keanggotaan, tampaknya masih belum mampu tuk melompat dinding tinggi yang telah terbentuk. Dalam sebuah istilah "merunduk bila ketinggian, melompatlah bila kerendahan". Sehingga terselamatkan dari mekanisme yang tersruktur, sistematis dan massif dalam parpol.
Dominasi Sang Figur Tunggal
Merujuk akan adanya sistem aklamasi kata pecundang/kompetitor seakan tak ada, sistem voting pun tidak akan dilakukan. Karena yang orang terpilih adalah jelas tanpa lawan dari yang lain. Walaupun didalam keanggotaan seperti ini, pasti ada orang-orang yang sebenarnya memiliki keinginan untuk tampuk kepemimpinan.
Orang-orang seperti ini dalam versiku bisa dianggap 'pecundang'. Mengakui kemenangan tanpa lawan, di dalam hati penuh kekecewaan akan keterpilihannya.
Kekecewaan pada mekanisme parpol, tak jarang adanya perlawanan dalam internal. Bahkan pembelotan kepada parpol lain, atau membentuk parpol-parpol baru. Yang suatu saat akan menjadi rival politik di masa pemilu nanti dalam rebutan tiket senayan.
Menyimak dari beberapa parpol yang berdiri selama ini, seperti sejarah Partai Hanura, Nasdem, Gerindra yang dihubungkan dengan Partai Golkar, seperti pecahan yang berdiri sendiri berpisah dari perahu induk. Hal ini seperti tak bisa ditampik karena elit-elitnya berasal dari perahu induk.
Selain itu, hangatnya pendirian partai Gelora (Gelombang Rakyat) yang diprakarsai elit PKS, Fahri Hamzah, Anis Matta dan teman-temannya. Seakan memberikan pemahaman, ada apa didalam parpol yang ada di tanah air.
Contoh kecil dalam dinamika parpol yang erat akan pergesekan di dalam internalnya sendiri. Khususnya dalam tingkat elit parpol.
Istilah demokratis yang selalu disampaikan dalam tataran pemerintahan, seperti ada kontradiksi dalam perahu mereka dengan real yang ada pada konteks demokrasi kita. Dinamika Parpol seakan lebih kompleks ketimbang demokrasi sistem kenegaraan. Walau tidak tampak jelas di mata awam.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H