Keraguan di Senayan, Kegagalan Demokrasi yang dilakoni oleh Parpol
Kehormatan, kemulian dan posisi penting adalah gambaran dari lembaga legisilatif, yang lekat dengan orang-orang ternama di tanah air. Ditilik dari sisi "kuasa" mempunyai peran strategis dalam lingkaran kekuasaan, untuk mengimbangi kekuatan lembaga eksekutif.
Kata-kata parlemen yang dialamatkan pada senayan, merupakan orang-orang terpilih yang dapat menduduki empuknya kursi senayan. Etisnya, secara kompetisi dan tahap seleksi yang ketat, mampu mengantarkan merka ke senayan.
Yang hampir sama dengan konsep teori seleksi alam, siapa yang mampu menyesuaikan ritme "perubahan" ekosistem dan melewati berbagai tantangan, maka dialah yang dikatakan hasil dari sebuah evolusi.
Dalam konteks ini ada sebuah analogi, yang relevan bagi yang mempunyai pakaian kebesaran, bahwa menjadi orang hebat, terkenal, punya jabatan penting sama dengan gelar yang disandang oleh mereka yang telah melaksanakan ibadah haji.
Mengapa? Karena jika pak haji tidak sholat, puasa atau melaksanakan ibadah, pastinya akan mendapatkan sindiran dari orang lain "kok hajinya begituan". Kalaupun melaksanakan ibadah yang semestinya, orang lain juga akan menyampaikan "wajar pak haji, jika tidak alim bukan pak haji namanya".
Lantas apakah kita harus marah  dengan berbagai ujaran itu? Dimana orang bebas menilai tentang kita sebagai public figure. Perilaku, ucapan, tindakan bahkan pakaian pun akan menjadi sebuah sasaran penilaian.
Inilah adalah suatu konsekuensinya, yang dianggap baik oleh kita, belum tentu dianggap baik oleh orang lain. Dan selalu menjadi sorotan dari jutaan manusia yang tertuju pada pada diri kita. Baik atau tidak.
Apalagi yang dilakukan, sangat jelas terkesan janggal di mata publik. Menjadi terkenal/popular, dimana pun akan menerima konsekuensi tersebut. Akan menjadi buah bibir bagi orang lain.
Namun dalam alur politik, khususnya melihat beragam pola yang dilakukan parpol yang ada terkadang terkesan dengan istilah  "asal comot" para kader yang didelegasikan ke parlemen. Demi mewujudkan eksistensi parpol dalam bertahan pada pentas selanjutnya.
Perekrutan public figure  oleh beberapa parpol dijadikan "senjata" mendulang suara tanpa melihat sisi kompetensi yang di delegasikan. Pasalnya, latar belakang keilmuan, pendidikan, pengalaman, dan rekam jejak seharusnya dijadikan acuan bagi parpol. Selain nama yang "menggema" dan uang yang berlimpah.
Baik parpol  baru maupun parpol lama di setiap menjelang pemilu, seakan tidak menapik akan hal-hal seperti ini, dengan berbagai motif bertahan dan tidak tergerus di kompetisi akbar dalam politik. Yaitu menggunakan nama-nama "public figure ".
Bahkan penunjukan calon-calon kepala daerah pun tidak lepas dari pola main yang sama. Golongan birokrat, pengusaha, artis, pendek kata orang-orang yang terpopuler masih dijadikan kandidat utama. Dan orang-orang yang benar-benar layak, tapi bukan dari golongan "populer" terkadang justru di kesampingkan.
Yang menjadikan "kekhawatiran" apakah yang akan dihasilkan, dengan sebuah produk aturan yang diajukan/ditetapkan, sejauh mana analisa/logika dalam mencari solusi negeri yang sangat komplek. Tidak hanya dengan satu pemahaman yang mesti diketahui, tapi berbagai bentuk pemahaman.
Jika hanya mendulang suara, asal eksis, tanpa melihat kerangka tujuan yang dibutuhkan oleh bangsa. Maka, parpol bisa dianggap salah satu penyebab mundurnya sistem demokrasi pada suatu bangsa. Dalam hal kemampuan legislator ditanah air.
Nama Keluarga Masih Bisa Menjadi Basis Suara     Â
Istilah lama "jika kalau orang tuanya telah kaya, secara tidak langsung anaknya juga kecipratan akan kekayaan". Jika melihat nama-nama elit nasional yang ada di tanah air, bayang-bayang orang tua masih memiliki pengaruh besar pada seseorang bahkan parpol pun tidak terlepas akan hal ini.
Seperti Puan Maharani masih dihubungkan dengan Megawati maupun Soekarno, Prabowo dengan Soeharto, Gibran kandidat walikota Solo dengan Jokowi, AHY dengan SBY dan nama-nama lainnya. Nama-nama besar keluarga terkadang memberi pengaruh besar dalam perkembangan para elit.
Nama-nama besar keluarga/orang tua seakan punya daya tarik tersendiri pada "figure sang anak". Semakin besar nama orang yang dibawah, secara tidak langsung semakin besar pula daya pikat buat publik. Apalagi jika nama-nama memiliki keharuman, sebagai negarawan-kah, bangsawan-kah atau pahlawan?
Yang menjadi sebuah pertanyaan besar, apakah nama-nama yang melekat bisa terbukti untuk menjawab berbagai problem-problem yang ada, atau bisa menjadi perbandingan yang kurang baik, apabila tidak mampu melampaui sepak terjang yang dilakukan oleh mereka dahulu.
Inilah asumsi dari pandangan awam, melihat beberapa elit nasional bahkan di daerah pun tidak terlepas dari nama keluarga, untuk mendapati suara rakyat.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H