Mohon tunggu...
Ibra Alfaroug
Ibra Alfaroug Mohon Tunggu... Petani - Dikenal Sebagai Negara Agraris, Namun Dunia Tani Kita Masih Saja Ironis

Buruh Tani (Buruh + Tani) di Tanah Milik Sendiri

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Budaya Kopi Bareng dan Harapan Petani di Pedesaan

5 November 2019   10:44 Diperbarui: 5 November 2019   11:07 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perjalanan hidup tidak selalu lurus sesuai dengan keinginan. liku-liku tajam dan jalan berlobang terkadang menghambat akan keinginan itu. Sehingga pondasi-pondasi yang semula akan dibangun bahkan yang telah berjalan harus hancur berantakan.

Dunia usaha pun tidak terlepas dengan permasalahan yang seperti ini. Tanpa ada berita dan khabar burung tiba-tiba angin kencang datang menerpa tanpa kita ketahui arah sebelumnya. Membuat rencana  yang semulanya telah matang kandas tanpa menghasilkansesuatu.

Apalagi usaha yang dibangun berdasarkan modal yang sangat pas-pasan, hasil dari tabungan bekerja selama ini. Baru memulai tapi harus karam, hanya menunggu sangDewi Fortuna datang untuk membantu untuk bisa bangkit kembali.

Kejadian seperti sangat berbeda dengan usahawan yang memiliki modal besar, sukses dan telah berpengalaman. Namun bagi seorang pemula hal sangat mempengaruhi mental, yaitu semangat menggebu harus patah ditengah jalan akibat dari kerugian yang diterima. Sehingga terkadang membuat terpuruk buat segelintir orang untuk memulai usaha kembali.

Ini potret kecil di masyarakat yang bekerja sebagai petani. Karena lahir dan besar dilingkungan petani. Ada beberapa peristiwa menarik yang sering terjadi bagi petani, khususnya para petani kopi. Biaya  penggarapan tidak seiring dengan apa yang diharapkan.

Jika melihat dari "menjamurnya" budaya minum kopi dan banyaknya produk kemasan yabg terbuat dari bahan baku kopi seperti memberikan kesan bahwa permintaan kopi ini adalah meningkat.

Tapi, mengapa permintaan kopi yang fantastis tidak seiring dengan harga beli kopi di masyarakat. Turun naiknya harga kopi membuat masyarakat mengalami sebuah kegelisahan. Dimana kebutuhan sehari-hari dirasakan semakin bertambah. Belum ditambah kebutuhan anak sekolah juga semakin meningkat.

Inilah beberapa keluhan para petani yang perlu ditindak lanjuti. Dan menjadi pertanyaan besar untuk menjawab berbagai keluh-kesah para petani kopi di berbagai daerah khususnya petani kopi "robusta"

Harapan Petani Kopi di Pedesaan
Kopi merupakan pertanian tahunan. Dalam artian menunggu waktu selama setahun untuk dapat memetiknya. Terkadang hasil panen tidak bisa diprediksi. Harga kopi yang tidak stabil, hasil panen yang sedikit. Inilah merupakan persoalan yang sering dialami para petani.

Disamping ekstremnya faktor cuaca sangat mempengaruhi hasil panen. Curah hujan yang tinggi membuat bunga-bunga kopi sebagai cikal-bakal buah kopi berguguran. Pendeknya, bunga-bunga gagal menjadi "calon kopi" yang siap petik ketika panen.

Selain kondisi hujan, cuaca yang terlalu panas juga mengalami kejadian yang sama, bunga kopi menjadi kering. Dan batal menjadi calon buah. Inilah beberapa permasalahan kopi yang dialami masyarakat petani bila mengalami permasalahan cuaca yang tidak bersahabat.

Selain itu, kondisi harga yang berkisar 17.000 per Kg saat ini yang tidak kunjung naik, dipedesaan misalnya, harga kopi yang stagnan tidak sebanding dengan biaya kehidupan sehari-hari. Biaya daur, biaya anak sekolah, dan biaya lainnya.

Yang menjadi pertanyaan besar, kok! Peminat kopi yang besar, iklan minuman kopi yang selalu ditampilkan di media, TV dan sebagainya. Tidak Seiring dengan harga kopi yang ada?

Jika melihat biaya yang harus dikeluarkan petani, sangat tidak seimbang dari hasil panen yang didapati oleh mereka. Penggarapan, perawatan, pestisida, pupuk yang mesti di perhitungkan?

Sebagai warisan yang dari para leluhur, beratani kopi merupakan pekerjaan yang dilakukan secara turum temurun dari orang tua, dan merubah atau brpindah dari kopi seakan sukar dialamai oleh mereka.

pixabay.com
pixabay.com
Budaya, Ngopi Ramai-ramai
Kebiasaan mengopi di kedai-kedai kopi, kantin kantoran dan warung-warung emperan terkadang memberikan manfaat tersendiri. Minimal interaksi kepada pembeli yang sama-sama penyuka kopi. Disertai obrolan tentang aktivitas sehari-hari bahkan fenomena-fenomena hangat yang terjadi sekarang tidak terlepas menjadi topik perbincangan.

Uniknya, ketika mengopi bersama-sama perbedaan latarbelakang baik dari sisi pendidikan, pekerjaan, suku ataupun agama terkadang justru memberikan warna dalam obrolan. Yaitu asumsi/persepsi dengan berbagai sudut pandang terhadap konteks yang dibahas.

Disisi lain "kopi ala ramai-ramai menurut versiku, bahkan bisa menjadi sumber informasi dan inspirasi yang positif. Yang bisa menjadi penambah wawasan, dari yang tidak diketahui akhirnya bisa menjadi tahu. Pendek kata "ngopi" di kedai kopi lebih asyik ketimbang menikmati kopi secara sendirian.

Mengutip perkataan teman sekaligus guru "jangan remehkan obrolan dilesehan, terkadang obrolan ditempat seperti ini sangat bermanfaat ketimbang di forum-forum resmi. Minimal jauh dari kesan yang bersifat formil, monoton dan kaku.

So! Budaya kopi bareng atau kopi darat, yang menjadi trend saat ini, bisakah harga kopi naik? Menjawab harapan petani kopi di perkampungan ku.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun