Mohon tunggu...
Ibra Alfaroug
Ibra Alfaroug Mohon Tunggu... Petani - Dikenal Sebagai Negara Agraris, Namun Dunia Tani Kita Masih Saja Ironis

Buruh Tani (Buruh + Tani) di Tanah Milik Sendiri

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Generasi di Antara Gempuran Media Massa

15 Agustus 2019   10:44 Diperbarui: 15 Agustus 2019   11:58 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrated by: Pixabay.Com

Tayangan di media massa saat ini dominan dengan kehidupan hedonis, glamoritas, roman seksuil dan kekerasan. Fenomena ini menghiasi secara mayoritas suguhan yang ditampilkan. Dan sangat sedikit mengulas tentang subtansi pendidikan, ekonomi kerakyatan, sejarah, budaya dan perkembangan dunia secara ke-kinian.

Jika diamati di TV atau media lainnya, komposisi tayangan dan siaran yang ditonton atau yang didengar memberikan stigma yang kurang meng-edukasi. Tapi justru menjadi pemantik distorsi dan degradasi moral khususnya generasi mileneal. 

Keprihatinan ini muncul saat menyaksikan akan kebebasan tanpa batas dengan vulgar disiarkan menyampingkan aspek-aspek naïf yang tidak layak disuguhkan. Rasa miris, marah dan geram melihat fenomena yang terjadi. Fakta ini terkadang memberikan pengaruh negatif dalam prilaku dan maindset pada tataran masyarakat.

Akhirnya membuat kritik serius kepada pihak yang memiliki otoritas bahwa pentingnya sebuah aturan yang ketat untuk melihat fakta dan implikasi yang ditimbulkan. Jika tidak dilakukan sebuah pembenahan secepatnya. 

Walaupun secara ekonomi konten-konten ini seakan menjadi suguhan dan komiditi utama yang menguntungkan bagi dunia perfilman, pertelivisian dan perusahaan atau pihak-pihak yang berkepentingan. Dan komiditi ini lebih banyak disukai secara mayoritas oleh pangsa pasar yang berkembang.

Fungsi pengawasan konten-konten oleh pemerintah baik Lembaga Sensor Film, Komisi Penyiaran, Kemoinfo dan media massa seperti longgar atau bahkan berkesan dibiarkan akan tayangan-tayangan beredar. Sehingga kurang baik untuk dikonsumsi. Apalagi konten yang ditayangkan di khalayak umum tanpa melihat sisi usia, manfaat dan tingkat pemahaman personal yang ada. Yaitu daya filterisasi mereka akan konten yang dinikmati.

Bahkan beberapa kasus yang terjadi di masyarakat, disebabkan adanya inisiasi dari suguhan yang mereka ditonton. Bocah memukul adiknya hingga tewas karena usai menonton film, tindakan asusila dilakukan anak remaja SMA yang ingusan. Dan masih banyak kasus yang terjadi akibat prihal seperti ini. Termasuk tensi pemilu kemarin juga karena konten-konten panas yang berseliweran.

Kegiatan menonton televisi, film, mendengarkan radio serta browsing internet semakin mudah ditemui dengan konten yang sangat beragam. Namun, terkadang mereka belum paham tentang berapa besar pengaruh dari apa yang mereka baca, dengar dan tonton itu.

Jadi siapakah yang harus yang disalahkan dalam hal ini? Anak-anak atau kita yang tidak membuat suatu kebijakan yang baik sehingga membiarkan ini terjadi. Atau “lempar bola tanpa goal’ saling salah menyalahkan.

Kalau dalam pandangan Psikologi khususnya usia anak-anak dan remaja sangat rentan akan hal ini. Jika melihat usia mereka yang cendrung meniru apa yang disukai atau yang dilihat. Mestinya perlu menjadi suatu pertimbangan buat pemerintah untuk meng-kontrol tayangan yang baik buat porsi pada mereka, bukan membebaskan konten negatif untuk dikonsumsi yang gampang di akses.

Fakta menunjukan bahwa remaja terkadang sering dijadikan target utama media massa . mendorong untuk berpartisipasi secara konsumtif yang sengaja dibuat para sutradara usaha-an.

Melihat besarnya pengaruh ini, maka semestinya dikenal dengan program yang memotifasi dan edukasi agar dapat dapat mengatisipasinya. Khususnya dalam aspek kognitif, psikotomorik dan afektif.

Menjadi melek media membutuhkan keterampilan berfikir kritis yang menuntun remaja membuat berbagai keputusan yang terkait dengan informasi yang bermanfaat bagi hidupnya.

Bagaimanapun mereka adalah generasi penerus yang sangat diharapkan untuk bangsa ini. Pembangunan karakter yang berkualitas harus sedini mungkin dibentuk. Salah satunya dengan dengan selektif dan ketat akan perkembangan siaran yang ada.

Jika tidak dalam waktu yang cepat, maka kita akan menuai sebuah masa yang dikenal dengan Lost Generation. Yaitu penurunan kualitas sumber daya manusia dalam satu generasi. Karena apa yang disuguhkan kerap mempengaruhi maindset dan prilaku mereka.

Akibatnya, bisa diramalkan mereka akan hidup dalam mental dan moral yang carut marut. Hanya menikmati visualisasi yang tidak membangun. Maka, akan lahir generasi yang enggan. Generasi yang kurang mandiri dan kurang suka pada tantangan. Kalau dalam istilah generasi ‘cengeng’.

Curup, 15 Agustus 2019

Ibra Alfaroug

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun