Mohon tunggu...
Ibra Alfaroug
Ibra Alfaroug Mohon Tunggu... Petani - Dikenal Sebagai Negara Agraris, Namun Dunia Tani Kita Masih Saja Ironis

Buruh Tani (Buruh + Tani) di Tanah Milik Sendiri

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Zonasi, Ini Sisi yang Lebih Penting

9 Juli 2019   08:07 Diperbarui: 9 Juli 2019   08:08 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berlakunya kebijakan "zonasi" dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) oleh Mentri Pendidikan. Memicu tanggapan yang kurang sedap dari berbagai daerah. Kebijakan yang bersifat sepihak tanpa ada melibatkan berbagai pihak dalam merumuskan sistem baru yang akan diberlakukan. Sehingga kebijakan menghasilkan kontradiksi di setiap daerah.

Penolakan ini merupakan sisi insidental, imbas dari rencana tanpa survey lapangan di daerah terpelosok dimana pendidikan masih sangat jauh tertinggal. Hanya berdasarkan pandangan "makro" tanpa menelisik pandangan secara "mikro" diberbagai daerah. Alhasilnya, banyak unsur yang terkait dapat menjadi imbas negatif akan kebijakan.

Sistem zonasi jika ditilik dari kebijakan yang lama. Persis sama dengan sistem rayonisasi. Kebijakan yang pernah dilakukan pemerintah sebelumnya. Kebijakan yang mewajibkan kepada peserta didik baru untuk memilih. Harus mengikuti kebijakan yang telah ditentukan. Sekolah harus di tempat ini, peserta didik baru seakan dibatasi dalam memilih selain ini.

Dilema pun muncul, dalam konteks mutu peserta didik di masa yang akan datang. Permasalahan-permasalahan yang timbul seharus dapat menjadi kajian untuk direvisi ulang. Melihat sisi baik dan buruknya. Ketika diterapkan.

Satu keniscayaan yang tidak bisa dibantah akan mirisnya beberapa pendidikan di daerah pelosok. Permasalahan gedung yang tidak layak, sarana prasana serba minus, tenaga kependidikan yang hanya dua atau tiga orang, dan akses jalan yang buntu. Seharus menjadi topik utama yang sangat penting dipertimbangkan. Dalam pengembangan akan pendidikan di tanah air.

Toh, ini lebih krusial dari sistem zonasi. Bagaimana generasi emas akan lahir? Jika sekolah banyak yang tidak ada, gurunya yang kurang kalaupun ada hanya pekerja honor, mau belajar penuh kecemasan gedung seakan ambruk, tempat praktik tidak ada, buku-buku seadanya. Inilah beberapa potret evaluasi wajah pendidikan kita.

Seperti insiden perubahan kurukulum yang selalu berubah, P4, CBSA, KBK, KTSP, K13 dan sebagainya. Seperti ganti menteri, ganti juga kebijakan.  Sehingga melahirkan kebingungan ditingkat bawah untuk merealisasikan keinginan pemerintah. Baru jalan kok diganti, beberapa waktu dulu ketika si "A" jadi mentri.

Zonasi, Sekolah Swasta Jadi Terancam

Dengan berkembang berbagai lembaga pendidikan formal oleh pihak swasta, dibawah naungan organisasi atau yayasan. Seakan menjadi rival lembaga pendidikan dibawah nanungan pemerintah yang berstatus negeri. Sisi ini seakan memiliki pengaruh posistif dalam menciptakan suasana akademis yang siap bersaing satu sama lain.

Trend pendidikan saat ini. Bukan permasalahan negeri atau swasta. Tapi 'brand' menjadi tolak ukur bagi banyak orang tua untuk menyekolahkan anaknya. Asumsi miring seputar sekolah swasta "sekolah pelarian' berlahan hilang dalam predaran.

Seperti di daerah saya saat ini, sekolah swasta banyak menjadi sekolah primadona "favorit" bagi masyarakat. Walau cenderung mahal seakan tidak menjadi persoalan bagi para orang tua untuk mendaftarkan anak mereka. Dengan hasil yang tidak mengecewakan. Peralihan status dari sekolah pelarian menjadi sekolah unggulan. Seakan cambuk terbesar bagi sekolah negeri saat ini. Ada apa ya? mengapa ya? ini terjadi. Dalam artian konteks mutu harus menjadi pertimbangan.

Kembali pada kebijakan zonasi, khususnya menimbulkan berbagai kecemasan dari pihak sekolah yang berstatus swasta. Seperti terancam keberadaannya bila diberlakukan. Secara financial suatu tidak bisa dipungkiri. Keberadaan peserta didik menentukan eksistensi sekolah. Semakin banyak peserta didik. Maka, semakin berkembang sekolah yang didirikan.

Menurut sudut pandang awamku seputar sekolah swasta:

Pertama, Sekolah Swasta itu Mandiri. Artinya asupan nutrisinya terbatas, tidak tergantung kepada pemerintah. Walaupun ada donatur penyokong dibelakang. Tapi, keterbatasan harus di manajerial sebaik mungkin. Jangan besar pasak daripada tiang. Zonasi seakan cenderung membatasi sekolah swasta untuk lebih berkembang. Bisa jadi membuatnya "mati" dengan sendirinya.

Kedua, Sekolah Swasta hanya ada di tempat-tempat tertentu. Keterbatasan lahan, modal, bahkan sudut pandang strategis (melihat pangsa pasar) menjadi kajian bagi pendirian. Bukan asal didirikan. Aspek-aspek ini mempengaruhi eksistensinya nanti.

Prihal ini menimbulkan mengapa sekolah swasta terbatas? Sekolah swasta hanya ada di pusat kota? Walaupun secara fakta ada juga didirikan jauh keramaian.

Zonasi harus juga melihat aspek ini. Kalau sekolah negeri jelas pemerataan dan finasialnya. Bagaimana dengan mereka? Hanya dari uang iuran peserta didik!

Ketiga, Sekolah Swasta Pencipta Lowongan Kerja. Menjadi tenaga kerja"honor" di swasta lebih makmur. Kata teman saya. Tidak pakai Tri Wulan, tidak pakai semeteran. Bayar gaji pakai "rapelan". Standar UMR nya jelas. Sesuai dengan kontrak yang di sepakati.

Zonasi diberlakukan "dunia kerja seakan terbatas, menciptakan pengangguran akibat PHK, sekolah tidak mampu membayar gaji mereka lagi".

Keempat, Aset berharga di daerah. Sekolah sebagai pencipta dan pembentuk insan paripurna. Semakin banyak orang-orang berpendidikan. Semakin "maju" pola pikir masyarakatnya. Sehingga daerah lebih cepat melesat kedepan nanti. Kata yang kuingat ketika menyimak acara seminar pendidikan dibangku perkuliahan. Tentang pendidikan.

Tapi dalam hal ini menjadi catatan bagi sekolah swasta adalah mutu harus jadi "brand" utama akan pendidikan.

Otonomi Daerah, Permasalah Pendidikan

Kebijakan otonomi daerah seperti melahirkan hak preogatif tidak terbatas kepada kepala daerah dalam melaksanakan pemerintahan. Mutasi, rotasi beberapa orang yang dianggap tidak pro dan bersebrangan. Menjadi hal yang biasa, ketika bergulir sistem sentralistik ke disentralisasi. Yaitu "otda" otonomi daerah.

Indikasi jual beli posisi tidak menjadi rahasia lagi, sebuah kelaziman. Dari harga terendah sampai dengan harga tertinggi tergantung posisi yang diinginkan. Bahkan tendensi politik saat Pra menjadi "penguasa" besar pengaruh untuk berburu posisi. Kering atau basah.

Bagaimana dengan pendidikan? Menariknya, pendidikan juga tidak terlepas dari pengaruh akan kebijakan kepala daerah. Isu seputar "kering atau basah" santer diperebutkan. Kepala diknas, kepala sekolah, mau jadi guru dimana, sekolah pelosok atau pavorit. Menjadi suguhan yang menggelikan. Berapa kontribusinya yang harus di keluarkan untuk itu.

Mirisnya fenomena ini, bisa menjadi senjata utama bagi "incumbent" melakukan intimidasi untuk bertahan di priode selanjutnya.

Akankah pendidikan kita berkualitas pada kejadian ini? Ketika sekolah pelosok, kurang diminati dan tidak ada yang mau berbakti mengabdi. Orang-orang hanya berlomba-lomba bertahan di sekolah dinginkan saja, walau harus mengeluarkan uang untuk itu. Menentang sumpah ketika diangkat. Mustahil.

Untuk itu pemerataan pendidikan antara pelosok dan tidak pelosok harus seimbang. Dengan kebijakan satu pintu yang terpusat. Yang tidak bisa di jadikan ajang politik semata di setiap daerah. Karena kualitas seseorang bukan dilihat ketika ada tempat yang telah baik. Tapi, kualitas bisa dilihat ketika yang tidak baik bisa dibentuk menjadi baik.

Dan bagaimana kalau zonasi di berlakukan ditingkat perguruan tinggi?

Curup, 09 Juli 2019

Ibra Alfaroug

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun