Pasca-sengketa pemilu di Mahkamah Kontitusi telah ditetapkan. Dan Menolak semua gugatan pemohon tentang seputar kecurang pemilu. Prihal ini cukup berlasan bagi MK, pemohon tidak dapat menghadirkan bukti-bukti yang akurat dalam persidangan.
Berakhirnya sengketa di MK bukan babak akhir yang harus diabaikan. Masih ada babak baru yang akan menanti. Diantaranya seputar pelantikan presiden yang terpilih diiringi komposisi dalam strukur kabinet. Golongan profesional-kah atau para wakil parpol pengusung yang mendominasi?
Menariknya, pasca pengumuman KPU kemarin. Dalam pidatonya Bapak Jokowi dan Maruf Amin tidak ada lagi namanya 01 dan 02 hanya ada 03. Yaitu persatuan Indonesia. Mari hentikan pertikaian selama ini, mari kita bangun bangsa ini bersama-sama. Stop! Mari berangkulan demi masa depan.
Jika diamati seputar pemilu tahun ini. Sangat kontras pergesekan. Baik semasa kampanye, maupun pasca pemilu usai. Mengambarkan perjalanan  yang alot dan menimbulkan kegelesihan serta kecemasan besar.
Isu disintegrasi sangat mencuat. Perseteruan di semua lini. Hoaks, Fanatik identitas, mobilisasi massa, netralitas para sipil dan abdi negara memanaskan suhu perpolitikan. Yang tidak bisa dibendung.
Akankah drama ini usai? Tentu tidak. Masih ada babak baru yang akan datang, menghiasi perjalanan politik bangsa. Salah satunya komposisi kabinet dalam pemerintahan mendatang menjadi topik hangat diperbincangkan.
Menyimak paparan pidatonya Presiden terpilih pasca penetapan KPU kemarin. Memberikan sinyalemen tersebut. Dalam artian ada celah untuk merangkul semua elemen parpol bergabung di pemerintahan.
Fakta-fakta merapat pun seperti jelas akan terjadi. Dengan adanya beberapa pertemuan para elit politik di berbagai kegiatan. Khususnya partai koalisi 'Adil Makmur'. Bayang-bayang runtuhnya koalisi di BPN akan terjadi. Diperkuat dengan tegasan Bapak Prabowo dalam pidatonya, bahwa parpol pengusungnya diberikan kebebasan untuk menentukan pilihan. Bergabung ke pemerintahan atau tetap menjadi oposisi.
Drama Rekonsilisasi Pun Hangat
Keinginan adanya pertemuan antara Jokowi dan Prabowo semakin mencuat. Dengan harapan meredam gejolak pasca pemilu. Akibat dari tensi yang selama ini cenderung berkesan 'gontok-gontokan'. Baik di tingkat atas maupun di tingkat bawah.
Akankah? Pertemuan kedua tokoh dapat terwujud. Tergantung kedua belah pihak mau atau tidak untuk itu. Tanpa menyampingkan sisi esensial rekonsilisasi. Demi bangsa atau demi kepentingan sepihak.
Berbagai asumsi pun mulai berkembang. Jika kedua pihak bertemu. Embel-embel prasyarat seakan menyertai isi pertemuan yang diperbincangkan. Mungkin akan ada prasyarat "simbiosis mutualisme" untuk meredam tensi emosional dari pihak pemenang pada pihak yang kalah.
Seperti imbauan untuk merapat barang kali, atau janji-janji lain yang tidak oleh kasat mata. Jika merapat jelas oposisi sebagai kekuatan penyeimbang tidak cantik untuk berdemokrasi. Lost Control seakan terjadi. Di mana kemenangan 01 di pilpres dan parlemen lebih unggul. Dibanding 02.
Jika pun terjadi pemerintahan gaya orde baru pun terjadi lagi. Dengan ABG-nya. Kerena cotrol pemerintahan menjadi hilang. Atau bisa seperti "Demokrasi Terpimpin" di orde lama terjadi kembali terulang.
Oposisi Tidak Menarik
Terjadinya "perseteruan" antara Demokrat dan Gerindra dari kekalahan Prabowo, seperti persatuan yang tidak sejalur. Seperti argumentasi kader Demokrat bahwa turunnya suara partai karena sosok calon yang di usung. Begitupun dari Gerindra, kekalahan tidak terlepas dari kurangnya sumbangsih parpol mendukung untuk mendulang suara rakyat.
Asumsi-asumsi ini selalu bergema tanpa melihat sisi lain yakni jadi persoalan "urgen" dari kekalahan. Sebab, banyak indikator-indikator lain yang dapat dijadikan titik penting dari sebuah kekalahan. Yaitu cara menawarkan produk/komiditi yang kita jual kepada pembeli disertai kualitas barang jualan yang belum menggigit.
Melihat dinamika pasca penetapan MK, pengumuman KPU, Pidato Pak Jokowi dan Pak Prabowo. Indikasi tidak terduga seakan memberikan prediksi di tahun 2024 nantinya. Untuk diperhitungkan dari berbagai elit dan parpol. Seperti apa nantinya di tahun tersebut.
Mungkin salah indikasi adalah bergabung atau berseberangan dalam pemerintahan. Timbul suatu pertnyaan mengapa jadi oposisi tidak menarik saat ini. Menurut kacamata awamku adalah porsi kekuatan yang menguntungkan atau justru merugikan. Masuk dalam jajaran lebih profit untuk peta politik selanjutnya atau justru merugikan.
Dalam pepatah lama "masuk karung tapi diperhitungkan, hanya menjadi pajangan dalam barisan, ada tapi seperti tidak ada".
Sejatinya, menjadi oposisi sangat menarik. Yaitu dapat mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang kurang baik buat bangsa ini. Ketika argumentasi yang disampaikan disertai ide konstruktif untuk rakyat.Â
Hal ini menjadi modal besar dalam pertarungan selanjutnya. Di tahun 2024. Dan dapat menggunakan suara dari rakyat yang diwakili di singgasana parlemen. Terhadap kebijakan pemerintah.
Bagaimana Jika Oposisi Tidak Ada
Roda demokrasi mengalami sebuah kemacetan besar. Tirani akan terjadi. Berbuah akan derita rakyat. Kalau pemerintah tidak melihat aspek pembangunan cenderung berbuat untuk kepentingan pribadi dan golongan. Inilah konsekuensi yang dicemaskan.
Praktik-praktik jual beli kursi untuk rebutan sekeping roti akan lebih mudah dilakukan. Rakyat hanya menggigit jari melihat ulah mereka. Apalagi kebebasan berpendapat sempat dibungkam dengan aturan kebijakan pemerintah.
Kompasiana Bisa Jadi Pilihan Beroposisi
Mengapa?Jika melihat kondisi yang tidak pasti di negara ini. Dengan politik yang punya warna dan sukar di prediksi. Hanya kepasrahan bila melihat ini terjadi, tapi ini juga bukan suatu solusi yang baik untuk bangsa ini.
Semoga kebebasan berpendapat tidak sempat dibungkam! Dan diberikan kebebasan beraspirasi, menyuarakan harapan bangsa. Keinginan mulia buat tanah air yang kita cintai.
Untuk itu kompasiana bisa menjadi pilihan yang baik untuk beroposisi. Jika tida ada oposisi di tingkat perpolitikan nasional. Ini menarik jika melihat dari penulis-penulis kompasiana  yang hebat-hebat dalam mengulik berbagai permasalahan dengan berbagai sudut pandang.
Berdasarkan pengalaman sejak bergabung di kompasiana, jadi alasan yang menarik untuk dilihat. Mulai aspek keilmuan, pengalaman dan sepak terjang sangat mumpuni. Ide-ide yang muncul pun sangat fantastis. Kompasianer yang beraneka bisa menjadi ujung tombak sebagai control kebijakan.
Sumbangsih pemikiran yang konstruktif sebagai kritik dan saran yang untuk pemerintah. Dari kompasianer. Kalau oposisi tidak menarik lagi bagi para elit. Yang penting kebebasan berpendapat tidak dibungkam. Dan hoaks tidak menjamur.
Curup, 02 Juli 2019
Ibra Alfaroug
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H