Seandainya, berpuasa tidak berdasarkan keiklasan hanya sebuah bermakna semu. Sebagai dusta-dustaan, Toh, tidak ada yang tahu, tidak ada yang melihat apa yang kita lakukan. Apakah kita berpuasa atau telah batal berpuasanya.
Tapi karena keyakinan akan ke maha-an Allah, kita mampu menjaga diri terhindar dari prilaku tersebut. Dan kita tidak melakukan tindakan yang dapat mengurangi nilai puasa. Jika ini bisa dilakukan dalam kehidupan yang nyata, kemungkinan besar praktik-paraktik korupsi tidak akan terjadi pada bangsa kita. Karena apa, karena kita yakin ada sang Maha Melihat, Yaitu "Allah".
Kedua, Puasa melatih simpati dan berempati. Lapar dan haus dari Imsaq hingga menjelang Magrib. Penderitaan ini mengambarkan bagaimana saudara-saudara, tetangga-tetangga kita yang harus bertarung demi perut keroncongan dan dahaga tenggorokan.
Bukankah Nabi Muhammad SAW, mengingatkan kita secara keras tidak beriman orang yang tidur kenyang, sementara tetangganya menggelepar kelaparan (padahal mengetahui kondisi tetangganya itu).
Nilai Humanistik ketika berpuasa seperti dapat merasakan penderitaan orang lain, bergetar hati, berfikir akal, tergetar raga untuk berindak membantu para saudara kita. Mungkin, kemiskinan mereka dapat terbantu dengan kedermawanan dan uluran tangan para saudara yang mampu. Betapa besar kontribusi besar yang dilakukan. Apabila telah tumbuh jiwa-jiwa kehumanisan pada setiap kita.
Ketiga, Puasa melatih anggota tubuh untuk berbuat benar. Mulut dapat terjaga dari Ghibah dan fitnah. Mata terhindar dari pandangan yang memicu syahwat. Telinga mampu memfilter kata-kata bermanfaat. Hidung dapat membedahkan mana yang baik dan yang tidak. Tangan terjaga berbuat kejahilan. Kaki terhindar dari langkah yang mudharat.
Hasilnya, Hoaks tidak akan berkembang, prostitusi tidak akan menjamur, tindakan anarkis tidak terjadi, dan tindakan mudharat lainnya dapat berkurang. Jika setiap raga terkendali untuk berbuat kesalahan. Dan cenderung untuk berbuat kebajikan sesuai dengan tuntunan.
Puasa Bukan Sekedar Ritualitas
Jika puasa hannya bersifat ibadah tahunan. Atau hanya taat dibulan ini saja, tidak berpengaruh pada perilaku manusia sesudah bulan Ramdhan berakhir. Dan kembali pada tabiat semula sebelum berpuasa. Maka, Ibadah puasa sebagai bagian Fundamental dalam rukun Islam mulai kehilangan daya esensialnya. Hanya sekedar Ritual semu yang hilang akan makna Religiustas yang sebenarnya.
Secara fenomenologi ada tiga tingkatan dalam berpuasa;
Pertama, Puasa hanya menahan lapar dan haus saja kalau diistilah "Puasa Anak-anak".