Hari Pendidikan Nasional ((Hardiknas) Kamis 02 Mei 2019. Momentum akademik ini bisa menjadi refleksi pendidikan secara Nasional.
Merujuk subtansi dari Tujuan Pendidikan Nasional dan kerangka Sistem pendidikan Nasional di negara kita adalah menciptakan pendidikan yang berkualitas, baik aspek Psikotomorik, Afektif dan Kognitif. Baik secara mental maupun moral. Dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memiliki tujuan subtansial membentuk manusia bermental dan bermoral yang beriman, bertakwa, cakap, mandiri, cerdas dan berahklak mulia
Untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut pendidik dan tenaga kependidikan memiliki peran sinergis dan berkontribusi besar. Tanpa dua hal ini secara primer pendidikan apapun tidak akan berjalan seperti yang diharapkan. Bahkan sama sekali tidak akan terwujud.
Disetiap daerah selain berstatus sebagai PNS unsur-unsur ini banyak dari kalangan Tenaga Kontrak atau disebut Honor. Kalau di daerah saya disebut dengan Tenaga Harian Lepas.Â
Secara fenomenologi ada beberapa cara perekrutan honor yang unik menurut saya;
1. Ada orang dalam, kalau dalam bahasa kren sering disebut "Nepotis".
2. Ada uang pelicin, seperti ajang audisi lelang yang dipromosikan. Siapa yang bermodal dia yang dapat.
3. Budaya titipan, apakah sanak keluarga, pejabat, atau mantan orang penting dan orang yang berpengaruh di daerah itu.
Timbul sebuah pertanyaan, apakah pendidikan berkualitas dapat terwujud jika cara perekrutan seperti ini terus dilanjutkan atau dipertahankan? Â Bisa jadi, bisa juga tidak.
Tapi dalam hal ini, saya tidak tertarik untuk membahasnya dalam konteks tersebut.Â
Menjadi sebuah konsen adalah hubungan sebuah kesejahteraan terhadap hasil pekerjaan. Semua kita pasti menginginkan sebuah reward yang sepadan dengan tupoksi. Pekerjaan yang seimbang apa yang didapatkan.
Lucunya, melihat fakta dilapangan. Kesejahteraan sangat mempeihatinkan jika honor yang didapati mereka kembali atau dikelolah pemerintah daerah atau bukan campur tangan pemerintah pusat seperti gaji PNS. Mirisnya, harus menunggu waktu yang lama, tiga bulan, enam bulan bahkan tidak tentu kapan cairnya. Â Gajipun harus seimbang dengan APBD daerah? Bagaimana dengan APBD di daerah yang tidak sama dengan daerah yang APBD yang besar. Pastinya standar Upah Minimun Reguler (UMR) tidak akan sama. Semakin besar Pendapatan Daerah, maka semakin besar pendapatan tenaga honor. Dan bagaimana daerah yang APBD kecil!
Bahkan menjadi honorer menjadi objek ajang politik para kepala daerah untuk mengintimidasi, kalau tidak menurut akan ditendang bahkan dibuang. Berganti kepala daerah juga mempengaruhi, bertahan atau hengkang.
Ada beberapa permasalahan dialami para honorer yang akan timbul jika kesejahteraan terganggu ;
- KekecewaanÂ
- Maindsage yang menyimpang bersifat pragmatis dan oportunis
- Keseimbangan hak dan kewajiban tidak berjalan dan rendahnya rasa tanggung jawab
- Money Oriented.
- Manajemen Serampangan
- Rendahnya pro aktif peserta didik cenderung berprilaku apatis
- Tingkat disiplin yang akan menurun
- Dan masih banyak lainnya
Jadi bagaimana saat ini?
Bergerak sendiri hanya untuk diri sendiri atau bergerak bersama sambil bergandeng tangan melakukan pembenahan. Atau masih terkukung dalam angan"bak burung di sangkar emas hanya bisa bermimpi tapi tidak bisa berbuat apa-apa.
Jika  aturan atau kebijakan yang lebih berpihak, bukan janji yang terkadang simpang siur. Karena Pendidikan bukan hanya tataran transformasi dan transmisi nilai semata. Tapi sebagai agen of change. Pendidikan adalah investasi peradaban tempat memanusiakan manusia, menjaga kultur dan kebudayaan bangsa. Tapi tidak melupakan "Kesejahteraan mereka" untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H