Mohon tunggu...
Ibra Alfaroug
Ibra Alfaroug Mohon Tunggu... Petani - Dikenal Sebagai Negara Agraris, Namun Dunia Tani Kita Masih Saja Ironis

Buruh Tani (Buruh + Tani) di Tanah Milik Sendiri

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Theomorfis dalam Sajak Sufistik Fariddudin Ath-Thar

18 April 2019   09:31 Diperbarui: 18 April 2019   09:44 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrated by; khazanah.republika.co.id

Penciptaan sajak dalam karyanya "Mantiquth-Thair" memberikan pengajaran kepada manusia untuk berfikir dan merenung akan sebuah hakikat kita sebagai manusia dalam perjalanan kerohanian. Dengan corak sajak yang lembut, indah dan sejuk adalah pencerahan yang menyadarkan kita, bahwa kita adalah makhluk yang bertuhan. 

Fariddudin Ath-Thar seakan mengajak kepada pembaca untuk menyelami dan merasakan tulisannnya sehingga membekas dalam hati yang paling dalam yaitu jiwa kita.

"Kepada melati ia berikan empat helai kelopak/ dan di kepala bunga tulip/ ia kenakan topi merah/ ia kenakan mahkota emas di kening bunga narsis/ dan ia jatuhkan mutiara-mutiara/ ke dalam peti sucinya". (Faridudin Ath-Thar)

Inilah salah satu sajaknya dalam sebuah antologi Mantiqut Thair. Katarisasi Religiustas cukup jelas mencerahkan bagi perkembangan spiritualitas umat manusia. Dalam karyanya ini berkata akan upaya aku memberikan keindahan pada suatu yang telah indah yakni bunga tulip yang indah masih dipasangi topi merah. Sehingga keindahan bunga itu semakin memukau. Bunga yang harum yakni hati nurani manusia menyadari bahwa dirinya adalah manusia, dan akan membungkus dirinya dengan akhlak yang mulia, moralitas yang agung. Selama topi masih menggelayut diatas bunga hati yang indah dan wangi terpaan angin dan karang yang menghadang tidak akan memberikan pengaruh kepada manusia.

Sajaknya kaya akan hikmah dan bernuansa spiritual, sang penulis berupaya memadukan imajinasi dengan kesufistik-an dalam tulisan. Seakan mengingatkan perjalanan manusia di dunia ini,  merupakan suatu perjalanan kerohanian untuk merealisasikan sifat-sifat ketuhanan.

Fariddudin Ath-Thar mengunakan sebuah tema  perjalanan atau pencarian sebagai perumpamaan pada keberhasilan jiwa manusia dalam mencari kesempurnaan. Dalam kehidupan manusia yang gersang akan nilai-nilai spiritual akan cenderung kepada tindakan yang tidak bermoral.

Ilustrated by; Mozaik.inilah.com
Ilustrated by; Mozaik.inilah.com

Biografi Faridudin Ath-Thar

Bernama lengkap Faridudin Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim. Namun lebih dikenal dengan sebutan Ath-Thar, si penyebar  wangi. Meskipun sedikit yang diketahui tentang riwayat hidupnya, dapat dikatakan bahwa ia dilahirkan pada tahun 1136 Masehi di Nisapur, Persia. 

Berdasarkan catatan pribadinya yang tersebar di sejumlah tulisannya, Ath-Thar melewatkan tiga belas tahun masa mudanya di Meshed. Kelahirannya kurang dari satu abad sebelum Penaklukan Genghis Khan.

Ath-Thar yang berarti "ahli kimia" atau "tukang minyak wangi"-mengacu pada kenyataan bahwa ia mengelola sebuah apotek di kota kelahirannya. Ayahnya mewariskan sebuah rumah obat, karena itu nama keluarganya sesuai dengan gaya Sufi adalah Ath-Thar Sang Kimiawan.

Ath-Thar menutup bisnisnya dan meninggalkan kedainya. Dan menjadi murid Syekh Buknuddin yang terkenal dalam mulai mempelajari sistem pemikiran sufi. Mengembara selama 40 tahun ke berbagai negeri dan belajar di pemukiman-pemukiman para syekh.

Setelah itu Ath-Thar kembali ke Nisapur, di mana ia melewatkan sisa hidupnya. Konon ia memiliki pengertian yang lebih dalam tentang alam pikiran sufi dibandingkan dengan siapa pun di zamannya. Ia menulis sekitar 200.000 sajak, 114 buku, termasuk masterpiece-nya, Musyawarah Burung. 

Semasa hidupnya, selain menulis Musyawarah Burung, ia juga menulis prosa yang tak kurang tenarnya; Kenang-Kenangan Para Sufi dan Buku Bijak Bestari. Musyawarah Burung yang ditulis dalam gaya sajak alegoris ini, melambangkan kehidupan dan ajaran kaum sufi.

Kendati Ath-Thar merupakan salah seorang guru sufi besar dalam literatur klasik, dan pengilham Rumi, dongeng dan ajaran-ajaran guru-guru Sufi dalam karyanya Kenang-Kenangan Para Sufi, harus menunggu hampir tujuh setengah abad untuk diterjemahkan dalam bahasa Inggris.

Ath-Thar hidup sebelum Jalaluddin Rumi.Ketika ditanya siapa yang lebih pandai di antara keduanya itu, seorang menjawab, "Rumi membubung ke puncak kesempurnaan bagai rajawali dalam sekejap mata. Ath-Thar mencapai tempat itu juga dengan merayap seperti semut. Padahal Rumi sendiri berkata, "Ath-Thar ialah jiwa itu sendiri."

Ajaran-ajaran Ath-Thar banyak disertai gambaran-gambaran biografi, fabel, pepatah dan apologi, yang tidak hanya mengandung ajaran moral tetapi kiasan-kiasan yang menggambarkan tentang tahap-tahap khusus perkembangan manusia.

Ath-Thar dikabarkan wafat di tangan tentara Jengis Khan, setelah membubarkan murid-muridnya dengan mengirim mereka ke tempat-tempat aman. Ketika memprediksi invasi Mongol pada abad ke-13. Ia diperkirakan meninggal dunia sekitar tahun 1230, dalam usia 110 tahun.

Karya-karya Fariduddin 'Ath-Thar

Sebagian besar karya-karya 'Aththar telah hilang selama berabad-abad. Dewasa ini,yang masih ada hanya tiga puluh karya saja. Semuanya berbentuk syair, kecuali kitab Tadzkirah al-Awliya' (Kenangan Para Wali).Yang disebut terakhir ini adalah sumber biografi penting yang mengandung informasi tentang para penulis dan penyair yang menulis tentang para Wali Muslim. Karya ini dimulai dengan kisah tentang Ja'far ash-shadiq, Imam keenam kaum Syi'ah dan seorang syekh sufi besar abad -2 H/ke -9 M sesudah Nabi Muhammad saw serta diakhiri dengan biografi al-Hallaj.

Karya 'Aththar lainnya, Ilahiname (Buku Ilahi),adalah paparan tentang enam fakultas yang ada dalam diri manusia:ego, imajinasi, intelek, kehausan akan pengetahuan, kehausan akan keterpisahan, dan kehausan akan kesatuan.

Dalam bukunya Asrarriname (Buku Segenap Rahasia),'Aththar tidak mengikuti gaya familiarnya berupa "berbagai kisah dalam sebuah kisah".Buku ini hanyalah sekumpulan kisah-kisah ringkas yang disuguhkan untuk meningkatkan keadaan spiritual/moral sang pembaca.

Mushibatnama (Buku Musibah) karya  'Aththar didasarkan pada kisah seorang musafir yang mencari-cari Tuhan.Ia mencoba mencari berbagai jalan dari makhluk tak sempurna yang tersesat sendiri dan memerlukan bimbingan. Dalam buku ini,pesan 'Aththar adalah bahwa dunia tanpa Tuhan adalah dunia yang sepi, sarat dan penuh dengan penderitaan,dan bahwa jalan menuju Tuhan ada didalamnya.

Manthiq ath-Thair  adalah salah satu karya paling penting dalam literitur sufi, yang menjadi inspirasi bagi sebagian besar syekh sufi. Buku ini berisi kumpulan fable, kisah jenaka,dan berbagai kisah dalam sebuah kisah,yang semuanya membentuk kisah tunggal tentang pencarian spiritual,yang dipimpin oleh Burung Hud-Hud,yang melambangkan guru atau pembimbing spiritual,

Manthiq at-Thair maha karyanya.

"Wahai Attar bejana wewangian rahasia telah kau tumpahkan isinya. Cakrawala dunia dipenuhi wangianmu dan para pecintapun terusik karena engkau. Puisimu itulah gelarmu, mereka akan mengenalmu sebagai Manthiq at-Thair dan Maqamat at-Thair. Keduanya adalah percakapan, pembicaraan sebagai tahapan di jalan kebenaran, atau katakan sebagai Diwan kemabukan."

Akhirnya si burung merak menyatakan kepada burung-burung itu bahwa mereka harus melalui tujuh lembah dalam pencarian itu. Pertama, Lembah Pencarian, tempat segala marabahaya akan mengancam dan perjalanan suci ini harus melepaskan keinginan keinginan. Kemudian Lembah Cinta, wilayah tak terbatas, tempat sang Pencari sepenuhnya dilanda rasa rindu kepada Sang Kekasih. Setelah Lembah Cinta adalah Lembah Pengetahuan Intuitif, di sini hati menerima secara langsung pencerahan dari Kebenaran dan suatu pengalaman "bertemu" Tuhan. Kemudian di Lembah Pemisahan, sang musafir akan terbebaskan dari segala hasrat dan ketergantungan. 

Dalam percakapan burung merak terhadap burung bulbul, Aththar mengungkapkan ketiadagunaan puncak kegembiraan (ekstase), mistikus yang hanya menuruti percintaan itu sendiri, yang melarutkan diri mereka dalam kerinduan, yang memperturuti pengalaman ekstatik dan tidak menyentuh kehidupan manusia.

Burung bulbul yang penuh gairah itu dengan tidak tahan lagi maju ke depan. Dalam setiap siulannya yang sangat bervariasi, ia menyuarakan suatu misteri makna yang berbeda-beda. Ia mengungkapkan misteri-misteri dengan sangat mengesankan sehingga semua burung lainnya terpaku. 

Burung merak berseru,"Hai... orang yang tertinggal, yang hanya sibuk mengurusi hal-ihwal! Tinggalkanlah kesenangan yang menggiurkan itu! Mencintai Mawar hanya akan menyusahkan hatimu. Betapapun indahnya bunga Mawar, keindahannya akan lenyap dalam beberapa hari. Mencintai sesuatu yang mudah layu hanya akan menyebabkan perubahan hati Manusia sempurna. Bila senyuman bunga Mawar telah membangkitkan gairahmu, itu hanya akan menawanmu dalam kesedihan tiada henti. Dialah yang menertawakanmu di setiap musim semi sementara ia tidak merasa sedih, tinggalkanlah bunga Mawar dan warna merahnya (yang menggairahkan) itu!"

ilustrated by; gusblerogarden.wordpress.com
ilustrated by; gusblerogarden.wordpress.com

Dalam mengulas bagian ini, seorang guru Sufi mencatat bahwa Ath-Thar tidak hanya menyinggung orang yang berpuas diri pada pencapaian ekstase tanpa melanjutkan tahap mistis berikutnya. 

Namun ia juga memberi arti ekstatik yang paralel, orang yang merasakan frekuensi cinta yang tidak sempurna, meskipun dipengaruhi oleh cinta, ia tidak punya gairah hidup dan tidak dipengaruhi olehnya sehingga kehidupan (pribadinya) benar-benar mengalami suatu perubahan: "Inilah api cinta yang mencerahkan, yang berbeda kapan pun ia timbul, yang menggairahkan, yang menghidupkan jiwa. 

Benih (cinta) ini terpisah dari rahimnya dan lahirlah manusia sempurna, yang berubah dengan suatu cara yang khas sehingga seluruh aspek kehidupannya terangkat (mulia).

 Ia bukan berubah dalam arti wujud yang berbeda, namun ia adalah pribadi yang utuh dan keberadaan ini bisa dianggap sebagai manusia yang penuh gairah. 

Setiap perilaku (hatinya) tersucikan, terangkat pada tingkat yang lebih tinggi, tergetar oleh melodi yang lebih merdu, melantunkan nada yang lebih langsung dan hidup, mempertalikan hati laki-laki dan perempuan, yang lebih mencintai dan lebih membenci. 

Setiap gerak hatinya menyatu dengan suatu nasib, suatu ruang yang tentram dan kokoh, menyatu dengan hal-ihwal, yang melingkupi meskipun ia hanya mengikuti bayangan substansi cinta ini, sedemikian agung sehingga dapat mencapai pengalaman yang lebih nyata.

Kepustakaan

Mojdeh Bayat, Negeri Sufi Kisah -Kisah Terbaik, Lentera, Jakarta, 1997.

Republika. Com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun