Menurut pendapat saya, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ambang batas (threshold) mencerminkan esensi dari demokrasi yang sejati. Mengapa demikian? Karena putusan ini jelas menunjukkan prinsip kesetaraan di hadapan hukum, di mana partai-partai kecil pun memiliki kesempatan untuk mencalonkan kandidatnya sendiri, selama mereka memenuhi ambang batas minimal yang telah ditetapkan oleh MK.
Sebelum adanya perubahan threshold oleh MK, hanya partai-partai besar yang memiliki kesempatan untuk mencalonkan kandidat dalam pemilihan. Partai-partai yang baru berkembang seringkali kesulitan dan terpaksa bergabung dengan partai yang lebih besar dan berpengaruh untuk bisa ikut serta dalam kontestasi politik.
Setelah ditelusuri lebih jauh, ternyata yang menggugat ketentuan tersebut ke MK adalah partai-partai kecil seperti Partai Buruh dan Partai Gelora. Dua partai ini layak disebut sebagai pahlawan demokrasi, karena tanpa keberanian mereka untuk menggugat, demokrasi kita mungkin akan terus diintervensi dan dimanipulasi.
Mari kita telusuri lebih lanjut, pasal-pasal apa saja yang digugat oleh kedua partai ini sehingga MK mengabulkan permohonan mereka. Salah satunya adalah Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada, yang menyebutkan bahwa hanya partai yang memiliki kursi di DPRD Kabupaten/Kota atau provinsi yang berhak mengusung pasangan calon dalam pilkada.
Jelas sekali, berdasarkan aturan ini, hanya partai yang meraih kursi di pemilihan legislatif tingkat Kabupaten/Kota atau provinsi yang bisa mengusulkan calon. Aturan ini bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam UUD 1945, karena menciptakan ketidakadilan dan diskriminasi di hadapan hukum, serta bertentangan dengan prinsip demokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi kesetaraan dalam proses pilkada.
Pilkada Jakarta
Jakarta tetap menjadi magnet bagi banyak orang, termasuk dalam kontestasi pemilihan kepala daerah. Meskipun Jakarta bukan lagi ibu kota Indonesia, kota ini masih dianggap sebagai batu loncatan strategis untuk meraih posisi penting di level nasional.
Salah satu nama yang santer dibicarakan adalah Anies Baswedan, yang dikabarkan akan maju dalam Pilkada Jakarta. Namun, hingga kini, belum ada kejelasan kendaraan politik apa yang akan digunakan Anies. Terakhir, Anies sempat diundang ke kantor DPP PDIP, yang memunculkan spekulasi bahwa ia akan diusung bersama Rano Karno. Meski begitu, belum ada kepastian lebih lanjut mengenai kabar tersebut.
Ada perbedaan mendasar antara Anies dan PDIP. PDIP dikenal sebagai partai yang nasionalis, sementara Anies sering kali dikaitkan dengan kelompok Islam konservatif dan politik identitas. Perbedaan ini bisa menjadi penghalang bagi Anies untuk mendapatkan restu dari Megawati. Namun, dalam politik, segala kemungkinan bisa terjadi, bahkan yang paling tak terduga sekalipun.
Di sisi lain, PDIP juga memiliki beberapa kader yang berpotensi diusung dalam Pilkada Jakarta, seperti Pramono Anung dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Belakangan ini, ada isu hangat bahwa Pramono akan dipasangkan dengan Rano Karno sebagai calon PDIP untuk Pilkada Jakarta. Namun, sekali lagi, ini masih sebatas isu yang belum dikonfirmasi oleh partai.
Mengapa PDIP belum juga mengumumkan calon mereka? Tentu saja ada berbagai pertimbangan yang sedang dipikirkan oleh Megawati dan petinggi partai.
Jika boleh mencoba menganalisa langkah PDIP, setidaknya ada tiga pertimbangan utama. Pertama, jika PDIP mengusung Anies di Pilkada Jakarta, ini bisa menjadi keuntungan besar. Elektabilitas Anies cukup tinggi, dan ia memiliki peluang besar untuk menang dibandingkan calon lainnya. Namun, di sisi lain, langkah ini bisa memicu reaksi keras dari simpatisan PDIP yang mungkin merasa tidak sejalan dengan pilihan tersebut, yang berpotensi merugikan partai dalam jangka panjang.
Bagaimana dengan Pramono? Pramono Anung, meskipun memiliki rekam jejak politik yang cukup baik di level nasional, kurang dikenal di Jakarta. Popularitasnya di akar rumput ibu kota relatif rendah. Jika PDIP tetap memaksakan pencalonannya, kemungkinan besar hasilnya tidak akan memuaskan. Lebih baik, menurut saya, PDIP mempertimbangkan calon lain atau bahkan memilih untuk tidak ikut dalam kontestasi kali ini.
Sedangkan untuk Ahok, PDIP harus bekerja ekstra keras untuk meyakinkan pemilih Jakarta. Rekam jejak Ahok di politik tidak terlalu positif setelah kejadian tahun 2017. Lawan politik bisa dengan mudah memanfaatkan isu politik identitas untuk menggempur Ahok. Jadi, untuk Ahok, PDIP perlu mempertimbangkan dengan sangat matang dan tidak gegabah dalam mengambil keputusan.
Pada akhirnya, keputusan ada di tangan PDIP setelah mempertimbangkan berbagai aspek dan kemungkinan yang ada. Bagaimana pendapat kalian? Apa langkah terbaik bagi PDIP dalam Pilkada Jakarta kali ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H