Pada hari ini, tanggal 26 Desember, kita mengenang peristiwa tragis gempa dan tsunami Aceh yang telah berlalu selama 19 tahun. Ingatan kita sejenak kembali pada saat-saat sulit itu, di mana bencana terbesar abad ke-21 mengguncang dengan kekuatan dan kepedihan yang tak terlupakan.
Gempa dahsyat dengan kekuatan 9,3 SR pada tahun 2004 tersebut memicu gelombang tsunami yang melanda wilayah pantai Aceh dan sejumlah negara di Asia Tenggara hingga Asia Selatan.
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), bencana tersebut menyebabkan 173.741 penduduk Aceh meninggal dunia dan 116.368 lainnya tak diketahui keberadaannya.
Gempa dan tsunami menyebabkan ribuan rumah dan bangunan rusak, bahkan hilang tersapu ombak besar. Hampir setengah juta penduduk Aceh mengungsi.
Setelah 19 tahun berlalu, alhamdulillah, Aceh berhasil bangkit dalam berbagai aspek kehidupan. Aktivitas masyarakat, termasuk ekonomi, sosial, dan pendidikan, sudah pulih kembali.
Banda Aceh dan beberapa daerah yang dulu terkena dampak tsunami kini sudah mengalami perbaikan. Tentu saja, rasa trauma masih terasa dan tidak bisa hilang begitu saja dari ingatan warga yang kehilangan keluarga dan harta benda. Namun, peringatan 19 tahun gempa dan tsunami Aceh seharusnya tidak hanya menjadi acara seremonial atau terbatas pada wilayah paling utara Sumatera itu saja.
Momentum ini seharusnya diambil lebih luas sebagai momen untuk merenung bahwa bencana tidak hanya terbatas pada gempa dan tsunami, tetapi dapat terjadi di sekitar kita setiap saat.
Ancaman tersebut tidak hanya terjadi di Aceh, tetapi juga di seluruh wilayah Indonesia, dari Sabang hingga Merauke. Merenungkan hal ini sangat penting karena Indonesia berada di daerah yang paling rentan terhadap bencana.
Berdasarkan survei United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR) terhadap 265 negara di dunia, Indonesia merupakan negara paling rentan terhadap gempa dan tsunami.
Potensi gempa di Tanah Air bahkan 10 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan Amerika Serikat. Menurut perhitungan lembaga PBB tersebut, kerentanan terhadap bencana tersebut mengancam lebih dari lima juta warga.
Ternyata, hal ini dipengaruhi oleh letak geografis Indonesia yang berada di pertemuan empat lempeng tektonik: lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudera Hindia, dan Samudera Pasifik. Di sebelah selatan dan timur Indonesia, ada sabuk vulkanik yang melintasi Pulau Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, hingga Sulawesi.
Keadaan seperti itu membawa potensi dan risiko terjadinya bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir, dan tanah longsor. Fakta ini seharusnya membuat kita sadar bahwa sebagai masyarakat Indonesia, kita tinggal di wilayah yang rawan dan seringkali harus berhadapan dengan berbagai bencana alam.
Sadar akan hal ini seharusnya mendorong kita untuk bersikap bijaksana, yaitu bagaimana masyarakat dapat menyesuaikan diri dan menjaga keseimbangan alam agar bencana bisa diminimalkan. Namun, sayangnya, kerusakan lingkungan semakin memburuk. Penebangan hutan dan bakau tidak terkendali.
Eksploitasi sumber daya alam juga dilakukan tanpa pertimbangan yang baik. Akibatnya, potensi bencana semakin meningkat, dan risikonya pun menjadi lebih besar. Tidak mengherankan jika banjir, angin puting beliung, tanah longsor, kebakaran hutan, dan musibah hidrometeorologi terus menerus terjadi secara bergantian.
Banyak rumah seakan menyerap risiko gempa karena kurangnya perencanaan untuk menghadapi ancaman tersebut. Tsunami dengan mudah menyapu permukiman di tepi pantai karena tidak ada zona hijau yang dapat menahan datangnya gelombang. Dari sudut pandang ini, menangani bencana bukan hanya sebatas memiliki sistem peringatan dini.
Pemerintah perlu mengubah cara mendekati pembangunan dengan lebih memperhatikan lingkungan hidup, sehingga masyarakat tidak sembarangan mengutamakan kepentingan pribadi. Di daerah rawan bencana, pemerintah harus menerapkan upaya mitigasi agar potensi korban jiwa dapat diminimalisir. Ini perlu diimplementasikan secara menyeluruh dengan melibatkan edukasi masyarakat dan penegakan hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H