Dalam bagian pertama bukunya (The Politics of Dignity), Fukuyama menjelaskan bahwa fenomena negara-negara di dunia memang menuju puncak dari kondisi demokrasi liberal karena menguatnya globalisasi, semakin tergantungnya kondisi satu negara dengan negara yang lain.Â
Tapi, kondisi demokrasi dan kapitalisme liberal di era globalisasi tidak bisa dinikmati oleh semua orang atau semua negara.
Bahkan krisis ekonomi yang dialami Amerika Serikat sendiri tahun 2008 serta Yunani yang berdampak kepada Uni Eropa menjadikan reputasi dari demokrasi liberal mulai dipertanyakan.Â
Fenomena lain yang menunjukkan kemunculan berbagai gerakan protes yang berangkat dari keterpurukan ekonomi berbasis identitas yang bercirikan sikap "illiberal" pun bermunculan, sebut saja serangan al-Qaidah atau kemunculan ISIS
Berangkat dari kritiknya terhadap biasnya paradigma ekonomi politik dalam membaca fenomena politik identitas, Fukuyama mengajak kita untuk kembali pada tradisi pemikiran-pemikiran klasik dalam melihat manusia dan tuntutan pengakuan bagi diri seseorang.
Ia menjelaskan bahwa Socrates sudah menjelaskan sejak ribuan tahun yang lalu terkait human nature  dalam tiga bagian jiwa manusia (the third part of the soul). Mengutip Socrates, pada dasarnya dalam diri manusia terdapat tiga sifat dasar, yakni keinginan atau hawa nafsu (desire) dan akal sehat atau rasionalitas (reason) yang sering kali bertikai untuk berebut didahulukan.
Dan  yang ketiga adalah semangat (spirit atau dalam bahasa Yunani disebut Thymos). Thymos aadalah suatu sifat yang dimiliki oleh seorang prajurit atau orang yang mengabdi kepada kerajaan (guardian).Â
Sifat itu berisikan perasaan marah dan kebanggaan atas timbal balik dari penilaian seseorang kepada kita. Thymos inilah menurut Fukuyama di era modern kita kenal sebagai politik pengakuan identitas.
Selain memperkenalkan kembali konsep Thymos, Fukuyama juga menjelaskan sifat lain yang mengikat manusia, yang ia sebut sebagai inside dan outside bagi seseorang. Artinya, ada anggapan bagi setiap orang bahwa ia memiliki semacam identitas yang otentik yang membedakannya dengan orang lain.
Ciri identitas otentik tersebut (inside) tidak boleh diganggu dalam pergaulan dan harus mendapatkan pengakuan dalam lingkungan sosialnya (outside). Cerita menarik tentang pergulatan ini dibahas secara menarik oleh Fuikuyama ketika membicarakan gerakan protes Martin Luther terhadap dominasi gereja yang terlalu mengintervensi kedirian seseorang
Selain inside dan outside, Fukuyama juga menjelaskan bahwa satu konsep lagi yang perlu dimasukkan, yakni konsep martabat (dignity), dimana setiap orang membutuhkan pengakuan bukan hanya di dalam kelas sosial yang terbatas, tapi bagi seluruh umat manusia.Â
Tuntutan atas martabat ini yang bisa berpotensi besar disalurkan untuk mendapatkannya dengan gerakan politik. Dengan tiga pendekatan itu (thymos, inside dan outside serta soal penilaian moral kedirian internal seseorang di tengah eksternal kehidupan sosial, dan dignity) yang menjadikan kita lebih memahami tentang kompleksitas konsep identitas di tengah era modern saat ini.
Politik abad 21 ditandai dengan fenomena politik identitas. Â Telah terjadi perubahan spektrum politik dari pembelahan kelompok Kanan dan Kiri yang berbeda dengan era sebelumnya.Di abad 20, misalnya, perselisihan antara dua kelompok tersebut berada pada perbedaan dalam isu ekonomi.Â
Kelompok Kanan mengkampanyekan kebebasan rasionalitas individu dan keterbatasan intervensi negara dalam urusan warga negaranya, terutama soal ekonomi (paham ekonomi liberal).
Anlisa yang berbasis ekonomi politik tidak bisa secara tuntas dipergunakan untuk menjelaskan akar-akar persoalan tuntutan politik identitas. Misalnya bagaimana kita menjelaskan peristiwa motivasi pelaku bom bunuh diri dari perspektif rational choice? Orang yang berpegang teguh pada pendekatan ekonomi politik akan berdalih bahwa sebenarnya dia sedang menerapkan prinsip pilihan rasional bagi dirinya.
Pola analisis seperti ini dalam melihat konflik dan politik identitas memang menjadi suatu paradigma yang mainstream. Misalnya saja kalau di Indonesia, persoalan tentang politik identitas Papua dan Aceh serta relasinya dengan pemerintah pusat selalu dibaca dari segi pembagian jatah alokasi dan pusat dan daerah yang tidak seimbang.Â
Bisa jadi penjelasan tersebut benar, namun ada aspek tuntutan atas kesetaraan identitas yang harus pula dipertimbangkan dan diakomodir.
Ekonomi politik tidak bisa secara tuntas dipergunakan untuk menjelaskan akar-akar persoalan tuntutan politik identitas. Misalnya bagaimana kita menjelaskan peristiwa motivasi pelaku bom bunuh diri dari perspektif rational choice? Orang yang berpegang teguh pada pendekatan ekonomi politik akan berdalih bahwa sebenarnya dia sedang menerapkan prinsip pilihan rasional bagi dirinya.Â
Sebab, dengan cara tersebut ia akan mempercepat proses kenikmatan surga yang mereka dambakan. Penjelasan seperti ini tampaknya masuk akal namun kurang bisa memberikan pemahaman yang lebih kompleks terkait persoalan politik identitas itu sendiri.
Di abad 21, ini perselisihan antara  kelompok kanan dan kiri tersebut berada pada perbedaan dalam isu ekonomi. Kelompok Kanan mengkampanyekan kebebasan rasionalitas individu dan keterbatasan intervensi negara dalam urusan warga negaranya, terutama soal ekonomi (paham ekonomi liberal).
Di sisi lain, kelompok Kiri mengutuk keras praktek ekonomi liberal yang semakin menyengsarakan kehidupan manusia dan memanggil negara untuk ikut menyelesaikan persoalan ekonomi. Kelompok kiri ini sering mengadvokasi gerakan-gerakan upah buruh dengan paradigma Marxian.
Belakangan ini, kelompok kiri kurang menaruh minat terhadap persoalan-persoalan ekonomi. Mereka lebih mengarah pada isu-isu identitas seperti LGBT, imigran, kulit hitam dan kelompok lain yang identitasnya termarginalkan. Sedangkan kelompok kanan menunjukkan kecenderungan menguatnya rasa patriotisme nasionalisme atas negara.
Setiap pihak dari kalangan kanan maupun kiri di abad 21 ini bertindak berlandaskan identitas mereka untuk mendapat pengakuan dan dihormati oleh sesamanya. Yang menarik, perjuangan kelas secara ekonomi tampak mulai ditinggalkan. Mungkin sebabnya karena kelas menengah jumlahnya makin mendominasi di masyarakat sehingga ekonomi bukan menjadi masalah serius.
Kalangan kiri yang dulunya fokus pada perjuangan kelas (secara ekonomi) kini lebih mendorong kepentingan beragam kelompok marginal seperti kulit hitam, imigran, perempuan, anak-anak, LGBT, pengungsi, dan semacamnya. Sedangkan kalangan kanan mencoba meredefinisi kelompoknya sebagai sosok patriot yang mengusung identitas tradisional-nasional, sebuah identitas yang sering berhubungan dengan ras, etnis, dan hal-hal religik.
Setelah setiap orang selesai dengan kebutuhan perutnya (ekonomi), identitas menjadi isu yang terus diperjuangkan di era di mana kebebasan diberikan kepada setiap orang. Setiap orang merasa berhak bahwa identitasnya diakui dan dihormati di masyarakat.
A
kibatnya ketika identitas-identitas yang muncul saling punya pertentangan satu sama lain dan negara tak bisa mengatasinya, mereka akan menyebabkan konflik di masyarakat. Proses inilah yang menurut Fukuyama membuat demokrasi liberal terancam.
Tak usah jauh-jauh, di Indonesia politik identitas ini juga menguat dengan kemunculan diskursus pemilihan baik di tingkat desa sampe ke level nasional yang mengusung tema-tema siapa yang merasa paling mewakili ulama atau siapa yang merasa paling milenial, misalnya.Â
Gerakan-gerakan akar rumput pun mulai melakukan penetrasi politik dengan melakukan demo-demo pro LGBT, anti-LGBT, bela tauhid, bela Islam, bela pribumi atau cina dan lainnya.
Mengenai identitas yang diusung dalam kontetasi polituk tampaknya hal itu lebih cenderung dominan untuk kepentingan politik semata. Namun identitas yang diperjuangkan oleh gerakan-gerakan akar rumput tampak lebih riil demi pengakuan.
Para demonstran akar rumput itu menyuarakan pengakuan identitas karena merasa ada yang tidak menghormati (mengusik) identitas mereka atau selama ini identitasnya dimarjinalkan oleh masyarakat.
Para demonstran akar rumput itu menyuarakan pengakuan identitas karena merasa ada yang tidak menghormati (mengusik) identitas mereka atau selama ini identitasnya dimarjinalkan oleh masyarakat.
Namun, keinginan untuk mendapat pengakuan tersebut kadang dengan mudah berubah menjadi tuntutan untuk menjadikan kelompok mereka superior . Setiap kelompok merasa memiliki hak lebih untuk dihormati sehingga ketika ada yang mengkritik atau menentang domain yang diusung identitasnya mereka harus dilawan.Â
Akar rumput jadi terpecah belah karena memperjuangkan identitas demi pengakuan dan penghormatan masing-masing. Sedangkan para politisi seperti memberi angin pada perpecahan dengan memainkan isu identitas tersebut demi menggalang dukungan untuk tampuk kekuasaan.
Mukhlis SS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H