Untuk kesekian kalinya saya mendapat tugas sebagai fasilitator dalam kegiatan Bimbingan Perkawinan (Bimwin) yang digalakkan oleh Kementerian Agama melalui Direktorat Bina Kantor Urusan Agama dan Keluarga Sakinah Direktorat Jenderal Bimbingan Perkawinan bagi setiap orang yang akan membangun bahtera rumah tangga. Kegiatan Bimwin  biasanya dipusatkan di KUA. Kegiatan ini bertujuan memberikan bekal dan amunisi dalam mewujudkan Ketahanan Bangsa. Program ini tidak hanya menjadi program Kemenag saja, namun menjadi program nasional yang didukung oleh kementerian/Lembaga terkait.
Bimwin sebenarnya merupakan upaya preventif dalam rangka menekan laju angka perceraian dan mewujudkan keluarga Sakinah dalam rangka membangun SDM Unggul dan berkwalitas sesuai dengan nilai-nilai yang tertuang dalam Nawa Cita. Program ini diperuntukkan bagi calon pasangan yang hendak menikah maupun yang barus menikah. Karena jika diikuti dengan baik kegiatan ini akan memberikan pengaruh yang positif bagi kelangsungan hidup keluarganya. Dari program ini diharpak kedua calon mempelai mampu mewujudkan rumah tangga Bahagia dan memiliki kehidupan yang harmonis.
sebelum kegiatan berlangsung saya selalu menyempatkan diri berdialog dengan peserta bimwin yang hadir. Saya coba mengajukan sebuah pertanyaan sederhana kepada mereka , "persiapan apa yang sudah dilakukan untuk melakukan akad nikah? Â Rata-rata mereka menjawab sudah melakukan persiapan lahir dan batin maupun finansial. Mendengar jawaban itu, saya mencoba meminta mereka agar menjawabnya lebih kongkrit. Akhirnya saya mendapat jawabab bahwa mereka sudah menyiapkan konsep pernikahannya, undangan, pesan catering, fitting baju pengantin dan jawaban-jawaban lain yang mengarah pada resepsi pernikahan.
Jawab-jawaban itu merupakan jawaban realistis bagi setiap pasangan mengingat pernikahan momen yang sangat berharga sehingga butuh persiapan dan perhitungan yang matang. Sayangnya, waktu dan tenaga para calon pengantin Sebagian besar hanya fokus pada persiapan bagaimana menghadapi resepsi pernikahan. Padahal nikah, tidak hanya melulu pada resepsi saja. Resepsi hanyalah semacam open ceremony dalam perjalanan rumah tangga. Perkawinan yang sesungguhnya adalah perjalanan panjang yang penuh lika-liku. Perjalanan itu bisa jadi sangat menggembrikan, seru, menantang. Bisa jadi, perjalanan itu sangat membosankan, penuh dinamika, melelahkan bahkan bisa jadi saling menyakiti. Mengapa hal ini, kurang mendapat perhatian. Seolah Sebagian mereka berpikir pragmatis bahwa setelah menikah pasti bahagia!
Kemudian, ketika diminta pendapatnya tentang persiapan mental, mereka hanya mengutarakan dengan banyak berdoa, meminta restu, bahkan ada yang mencoba melaku riyadhah. Terakhir, saya coba lemparkan pertanyaan mereka tentang bekal ilmu pengetahuan dengan sebuah pertanyaan, adakah yang pernah mengikuti kegiatan-kegiatan pembekalan bagi calon pengantin, atau pernah belajar tentang hal ihwal berkeluarga? Jawabannya sangat mengejutkan, karena dari sekian kali saya menjadi fasiltitor hampir semua mengatakan tidak atau belum pernah belajar tentang keluarga, bagaiaman mengelola keluarga, mengelola keungan keluarga, parenting dan hal-hal yang banyak berkaitan dengan kehidupan keluarga. Â Boleh di katakan mereka belum menyiapkan bekal yang memadai atau bahkan hanya modal nekat, modal dengkul dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
Menapaki Hidup BaruÂ
Nikah dalam literasi fiqh secara Bahasa diartikan sebagai ad-dhamu, atau al-jam'u yang artinya penyatuan. Dari kata ini bisa dipahami bahwa nikah adalah menyatukan dua sejoli yang memiliki perbedaan karakter, sifat latar belakang dan tingkat pemahaman agama dalam satu ikatan. Sebelum menikah, saat masih dalam masa pacarana, mungkin yang terlintas adalah segala sesuatu yang indah-indah saja. Setiap kangen bisa ngajak ketemua, tidak memungkian bisa chat melalai WA, Telegram, Tik Tokan Bareng. Setiap mau beranjak tidur masih sempat bertanya; sudah tidur belum beb? Berpesan jangan lupa makan, say! Wah wah pokoknya indah banget. Setelah sekian lama akhirnya mereka memutuskan untuk meresmikan ikatan mereka di depan Penghulu KUA.
Namun beberapa hari kemudian, di saat janur kuning belum kering, muncul getar-getar berbeda. Getar marah, kesal, gregetan, meski rasa cinta masih ada? Oh.ooh ternyata begini ya, kenapa semua seolah telah berubah? Ini semua karena, ijab Kabul menjadi batas yang memisahkan. Dulu, sebelum resmi menikah, kedua masih dipisahkan jarak. Ada kangen dan rindu yang mendorong untuk bertemu. Pada masa pacaran mereka belum memiliki rasa aman, senantiasa ada kekhawatiran jika di tinggal pasangan karena belum ada ikatan resmi. Hal ini menyebabkan ada banyak rahasia, sipat, dan karakter yang masih disembunyikan. Â Sehingga di mata pasangan semua terlihat sempurna, indah dan sepertinya membahagiakan.
Selesai ijab Kabul terucap, rasa aman itu muncul. Sekarang aku resmi menjadi miliknya, dia milikku sepenuhnya, tidak ada lagi yang bisa memisahkan. Kecemasan itu telah sirna, muncullah sipat aslinya, termasuk perilaku-perilaku yang dibenci pasangan. Orang yang dasar pelit, emosional, pemalas, suka menyakiti dan kebiasaan-kebiasan lain semua Nampak jelas setelah akad nikah. Â Bahkan, bagi pasangan yang belum memiliki kedewasaan berpikir bertindak mereka harus mengakhiri perkawinan itu meski baru berumur jagung. Mereka tidak siap dalam menapaki kehidupan yang betul baru, tidak seindah yang mereka bayangkan Ketika masih pacaran.
Akad nikah yang diucapkan mempelai di depan Penghulu menjadi pengikat antara dua orang yang berbeda untuk hidup dalam waktu yang lama hingga ajal menjemputnya, bukan hanya hitungan bulan atau sekian tahun. Kini telah memasuki pintu gerbang kehidupan yang baru yang tidak lagi hanya melibatkan seorang diri. Di sana ada pasangan hidup, keluarga besarnya, masyarakatnya, kebiasanyanyang juga harus dinikahi. Apapun yang terjadi mereka mesti tetap bareng-bareng, saling menguatkan, bekerja sama, saling bahu membahu menghadapi kehidupan baru tersebut. Meski terasa, baru dan berat jika memiliki bekal yang cukup hidup itu akan terasa ringan dan menyenangkan. Â
Modal Perkawinan yang Mesti disiapkanÂ