***
5 KM sudah Viona dan Dito berputar mengitari lapangan. "Wah capek banget ya ternyata. Udah lama ga pernah olahraga", celetuk Viona. Kemudian ia duduk di rerumputan disusul Dito duduk di sebelahnya. "Makanya hidup tuh olahraga, nggak rebahan mulu", balas Dito. Viona melirik ke arah Dito kemudian kembali berbicara "Eh lu beneran keluar dari bimbel? Kenapa? Cita-cita lu jadi lawyer kandas? Coba cerita", "Lu mau nanya apa mau beli sayur? Mrepet mulu tuh mulut", sontak Dito memandang ke arah Viona yang hanya dibalas dengan nyengir kuda. "Gimana ya? Menurut gua sama aja, bimbel bikin gua pusing udah nanti sebisanya aja dah. Kalau ditakdirkan kuliah ya gua berangkat aja, hahaha", jawab Dito santai, kemudian Viona hanya ber 'oh' ria.
Panjang obrolan mereka hingga sampai pada Dito menanyakan keberlanjutan Viona setelah lulus SMA. Sebenarnya Dito udah lama geram ingin menanyakan hal tersebut, namun ia ragu karena takut akan mengusik Viona. "Lu sendiri gimana jadinya?" celetuk Dito. "Gimana apanya", "Habis ini, lu mau lanjut kemana?" jawab Dito. Kembali Viona menghadap ke depan sambil menghela napas dalam. Ia menjawab pertanyaan Dito yang memang benar adanya, ia tidak bisa menunda lagi dan sudah harus menentukan arah pilihannya. Viona mulai jujur bahwa ia disuruh oleh orang tuanya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi saja, toh dia bakalan mampu secara akademik. Selain itu juga karena kakaknya yang dulu tidak mau kuliah. Sebenarnya ia sudah tidak tertarik untuk kuliah, karena jurusan yang ia minati tidak linear dengan jurusan sekolahnya saat ini, misalpun ia memaksa dan nantinya bakal keterima pun akan menyulitkan baginya saat di tengah jalan.
"Udah, gapunya pilihan gua udah", pasrah Viona. Ia sudah lama memendam itu semua, tapi Dito malah menanyainya. Sebenarnya ia lebih tidak tega untuk menolak pilihan orang tuanya karena tidak ada yang bisa diandalkan lagi selain dirinya. Selain kakak, Viona sebenarnya masih memiliki adik balita, namun bukankah itu tidak mungkin baginya jika mengharapkan adiknya yang nanti bakalan lanjut ke perguruan tinggi, sedangkan umur orang tuanya sudah tidak muda lagi. Akhirnya dengan perasaan terpaksa ia harus menuruti keinginan orang tuanya untuk yang kesekian kalinya.
***
Tiba hari dimana pengumuman masuk perguruan tinggi tiba, Viona dengan sengaja pergi keluar tanpa membawa ponselnya. Ia duduk diatas rerumputan di pinggir sawah yang tidak jauh dari rumahnya. Ia tidak akan pernah sanggup melihat hasil pengumuman karena jika tidak lolos ia masih harus berjuang lagi namun jika lolos itu merupakan mimpi buruknya di sore hari. Viona duduk seorang diri termenung sambil menata hati untuk menghadapi kenyataan setelah melihat hasil pengumuman yang akan ia diterimanya nanti.
Mentari semakin menjauh ke ujung barat dan keberadaannya sudah tinggal setengah. Viona dengan segera bangkit untuk kembali ke rumah. Sesampainya di rumah ia membuka ponselnya dan,,, sudah puluhan chat yang masuk ke ponselnya. Isi chatnya hampir sama semua, yap kalian tau itu adalah ucapan selamat karena ia lolos masuk perguruan tinggi yang ia pilih dengan jurusan yang menurutnya sesuai juga dan linear di bidang IPA.
Sontak ia terduduk di tepian ranjang. Ia bukannya membalas ucapan tersebut namun menggulir bilah ponselnya kebagian notes. Disana ia menuliskan "Jika ini adalah yang Engkau gariskan padaku Tuhan, maka aku percaya bahwa ini adalah jalan yang terbaik bagiku" setelah itu ia menutup kembali ponselnya. Â
Semua anggota keluarga telah berkumpul di ruang tengah. Viona dengan wajah yang santai menghampiri mereka dan menyampaikan kabar bahwa ia diterima masuk ke perguruan tinggi negeri. Semua yang ada disana mengucapkan syukur dan terlihat dari wajahnya tergambar dengan jelas kebahagiaan yang besar. Berbeda dengan Viona yang hanya bisa menanggapi dengan senyum terpaksa yang ia buat. Setelah itu ia kembali ke kamarnya lagi.
***