Oleh: Mukhtar Habib
Tertulis lembaran potret jenaka wanita di sana
Cinta halu bersepasi di relung kehidupan
Seruai penelangkaian dalam cerita pena
Katanya nyata namun bagi dia tak senyata aslinyaÂ
Ereksi pena tak tertahan menggores hingga beda lembar
Satu bagian satu lembar melengkapi sajak puisi yang berbeda
Saat ini penat resahnya, sampai takut hadapi kenyataan ituÂ
Firasat itu benar, namun pikiran tak sejalan
Tuhan baru ku ingat ituÂ
Setelah jauh bertahun sekala dalam diamnya itu
Aku tak tahu itu benar atau tidak
Kurasa kalau dia tahu Tuhan pun bingung menjabarkannya
Lagi-lagi dengan rima yang sama seperti duluÂ
Mungkin nasi belum menjadi buburÂ
Tapi kesal ku selalu terlambatÂ
Sekiranya waktu itu terang laksana pagi Aku pasti menepatinyaÂ
Tak berkurang sebutir apa pun itu untuknyaÂ
Oh Tuhan ampunilah aku atas lisan kuÂ
Baru ku tahu ternyata lupa bisa kalahkan ksatria
Berlayar lupa arah hampir saja berlaku bodoh
Detik ini aku ingat semuanyaÂ
Dua wanita ini memang halu, dia lah yang benarÂ
Ruang mega dimensi itu menyakitkan sekali
Maafkanlah segalanya dalam lembaran beda ini
Panggung sandiwara ini ku coba kuhentikanÂ
Terima kasih Tuhan dan terima kasih cinta menyadarkan kuÂ
Aku yakin mata angin tak pernah berubahÂ
Jika tak mengutip gelora palsu di ruang itu  Â
Â
Medan, 3 Januari 2025
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H