Tulisan ini hadir sebagai salah satu upaya merespon gagasan “Majelis Ulama Indonesia (MUI)-Pusat” pada Milad ke-41 secara resmi mendirikan Islamic Development Fund MUI (IDF-MUI) atau Dana Pembangunan Umat MUI pada 29 Juli 2016. IDF MUI bukanlah sebuah lembaga investasi, IDF MUI adalah lembaga amil zakat, infaq, dan shadaqah dari berbagai kalangan, yang kemudian digunakan dan dikelola untuk membangun kemandirian umat dan mewujudkan kesejahteraan bangsa.
Sebagai langkah awal, IDF-MUI melakukan penandatanganan kerja sama dengan berbagai pihak. Penandatangana kerja sama dilakukan oleh Ketua IDF-MUI, Lukmanul Hakim dengan sejumlah lembaga keuangan syariah, antara lain Bank BRI Syariah, Bank Syariah Mandiri, Bank BNI Syariah, dan Bank Mega Syariah, serta dengan jaringan bisnis ritel TransMart Carrefour dan Restoran Solaria. Penandatanganan kerja sama antara IDF-MUI dengan lembaga keuangan syariah dan bisnis ritel ini merupakan bukti komitmen awal untuk secara bersama-sama menggalang dana demi meningkatkan pemberdayaan ekonomi dan kemandirian umat.[1]
Upaya MUI untuk menghimpun dana umat melalui IDF di atas, ternyata ditolak oleh Jusuf Kalla (Wakil Presiden RI), yang seyogyanya beliau meresmikannya tepat pada acara milad tersebut. Penolakan Jusuf Kalla tersebut ternyata seirama dengan Presiden Joko Widodo, pun tak mengizinkan berdirinya lembaga IDF atau Dana Pembangunan Umat tersebut, karena harus ada izin terlebih dahulu dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). "Saya bicara Presiden Jokowi, jangan, jangan diizinkan itu, kalau itu izinnya kan mesti dari OJK. Jangan."[2]
Lebih lanjut JK menjelaskan, bahwa MUI haruslah fokus pada tugas utamanya, yakni meneruskan warisan Nabi (ed: warasatul anbiya), menciptakan fatwa, mengayomi umat, dan lain-lain. Menurut dia, sebaiknya MUI tidak mendirikan lembaga keuangan karena dikhawatirkan akan gagal. Selain itu, selama ini juga telah berdiri lembaga amil zakat lainnya, sehingga MUI diminta agar lebih mendorong fungsi lembaga yang sudah ada. "Kalau Majelis Ulama membikin lembaga keuangan, semua lembaga keuangan punya risiko. Walaupun kemudian saya jelaskan, bahwa itu semacam LAZIS saja (Lembaga Amil Zakat, Infak, dan Shadaqah), ya sudah jangan MUI menyaingi lembaga lain, karena Muhammadiyah punya, NU punya, negara punya. Buat apa lagi? Apalagi namanya pakai Inggris, sepertinya kayak bank saja," jelas JK. Karena itu, atas nama pemerintah, JK pun melarang MUI mendirikan IDF MUI. Lebih lanjut, ia juga mencontohkan kegagalan lembaga amil zakat yang telah dibentuk oleh organisasi Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.[3]
Merespon kedua pemikiran di atas, yang pada intinya memiliki pandangan dan tujuan yang sama, yakni bagaimana mewujudkan umat Islam Indonesia sebagai “khaira ummah”, yaitu umat yang memiliki kualitas terbaik, dengan terciptanya sinergitas para stakeholders, antara umara,ulama, dan zuama membangun kemandirian umat serta mewujudkan kesejahteraan bangsa dan negara. Dari dasar pemikiran tersebut, kami tergugah menyuguhkan buah pikiran, bahwa sudah selayaknya negara Indonesia memiliki lembaga/badan negara yang secara otonom mengelola keuangan dan harta umat Islam. Data menunjukkan, Indonesia sebagai negara yang menduduki deretan pertama dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia, yaitu 207 juta,[4] berbanding dengan 20 negara di Eropa dan di Afrika Utara sebanyak 234 juta.[5]
Lembaga/badan yang secara khusus mengelola keuangan dan harta umat Islam tersebut menjadi salah satu lembaga negara, yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden, bukan saja bertugas mengumpulkan, mengelola, dan mendistribusikan dana umat seperti yang selama ini dilakukan oleh BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) dan lembaga zakat lainnya, yang berkutat pada persoalan zakat, infak, dan sedekah semata. Tetapi, kehadiran lembaga ini dimaksudkan sebagai Baitul Mal Indonesia (BMI), yang menghimpun dana umat melalui zakat, wakaf, infak, shadaqah, hibah, wasiat, kafarat, termasuk harta tanpa pemilik. Selain itu, dana yang dihimpun tersebut dimasukkan dalam kas negara sebagai pendapatan negara yang dibuatkan rekening dengan kode tersendiri. Dengan demikian, kehadiran Baitul Mal Indonesia ini, negara memiliki sumber APBN-APBD, yang dikelola secara sah dan semata-mata untuk pemberdayaan umat Islam.
[1]http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/detil_page/8/23449/30/1, diakses tanggal 9 Agustus 2016.
[4]http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321, di akses tanggal 9 Agustus 2016.
[5]http://zilzaal.blogspot.co.id/2013/03/16-negara-di-eropa-berpopulasi-muslim.html, di akses tanggal 9 Agustus 2016. Lihat juga, http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/15/05/27/noywh5-inilah-10-negara-dengan-populasi-muslim-terbesar-di-dunia, di akses tanggal 9 Agustus 2016.