Mohon tunggu...
Mukhotib MD
Mukhotib MD Mohon Tunggu... profesional -

Aktif mengikuti dan menjadi fasilitator pendidikan kritis rakyat, berbagai pelatihan, seminar dan workshop, dengan issue penguatan keadilan jender, kesehatan reproduksi, HAM, HIV/AIDS, Islam ke-Indonesia-an, dan jurnalistik. Menjadi jurnalis online di kantor berita swara nusa (www.swaranusa.net), dan menulis, mengedit beberapa buku.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Motivasi Keliru: Menulislah Jangan Pikirkan HL

19 Mei 2011   04:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:28 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Sungguh, dengan hati yang tulus, saya sangat menghargai para kompasianer yang selalu memguatkan batin, menghibur diri saya, menghibur kompasianer yang lain dan atau mungkin juga menghibur diri sendiri, teruslah menulis, tidak perlu memikirkan Headline dan Highlight, apalagi Terekomendasi. Karena nasehat-nasehat itu, menjadikan obat manjur bagi bertahannya semangat untuk tetap menulis di kompasiana.

Tetapi, saya memiliki pendapat yang berbeda. Setiap kali saya mengembangkan ide, mengais-kais gagasan, membaca-baca informasi, yang saya bayangkan bagaimana agar tulisan saya bisa masuk Headline. Ada sedikit rasa nyeri yang menyelusup dalam hati, setelah menunggu untuk beberapa waktu, seperempat jam sampai setengah jam, ternyata tulisan tak masuk ke Highlight. Padahal, peluang masuk Headline, tentu saja harus masuk dulu ke Highlight. Yang ditunggu tidak menongol juga, mulailah mencari gagasan baru, gagasan yang segar, dan rencanakanlah untuk berjalan-jalan, siapa tahu dalam perjalanan itu menemukan sesuatu yang baru dan menarik. Dan tentu saja penting untuk diketahui orang banyak.

Mengapa saya berpendirian seperti ini? Setidak-tidaknya ada alasan substansial yang mendukungnya. Saya menduga [karena saya tidak pernah mengikuti rapatnya], kompasiana.com secara prinsip dilahirkan dari sebuah rahim jurnalisme warga. Ada satu pandangan yang menguat di kalangan media mainstream, nereka membutuhkan dialog dengan para pembacanya, sebab tidak selalu apa yang mereka pikirkan merupakan kebutuhan informasi bagi pembaca setianya.

Selain itu, jurnalisme warga membuka ruang baru bagi proses demokratisasi informasi. Pada akhirnya yang bertahan adalah yang memang dianggap bermanfaat bagi banyak kalangan, memberikan dampak luas bagi sebagian besar masyarakatnya. Siapa yang mengtehaui kebutuhan itu, tentu saja warga itu sendiri. Memberikan ruang bagi warga untuk menulis sendiri, menciptakan ruang dialog dua arah yang sangat positif.

Jika benar, dugaan saya mengenai kelahiran kompasiana.com, justru saya menyarankan agar setiap kompasianer mengirimkan tulisan ke kompasiana.com, harus berpikir untuk ditayangkan dalam Headline. Karena dari sanalah kita bisa melihat sejauh mana kualitas karya jurnalistik yang kita tulis terbuktikan.

Kalau toh kemudian, pengelola kompasiana.com meloloskan opini [termasuk di dalamnya fiksi, resensi film dan buku], menurut kebijakan Headline lebih karena pertimbangan karya itu mendalam dan berkualitas. Sebuah kriteria yang sungguh amat sulit dipastikan, karena subyektivitas, kecenderungan personal, lebih banyak menguasai keputusan yang diambil.

Agar tidak terjadi kesalahpahaman, sekali lagi saya tidak sedang mengabaikan karya apa pun dan mana pun dari para kompasianer, tetapi jika hendak mengembalikan semangat awal kompasiana.com, memulai untuk menulis reportase merupakan sesuatu yang bijak, bagi sumbangannya dalam pengembangan jurnalisme warga.

Tentu saja, tetap dengan sesekali menulis opini dalam bentuk essay, sedikit bergaya sastra sehingga ciamik dirasakan, dan mendedahnya dalam kajian yang mendalam. Seperti yang juga saya lakukan. Dan tetap sambil berpikiran untuk masuk highlight, syukur-syukur kemudian bisa masuk ke headline.

Tetapi, setelah selalu berpikir untuk masuk Headline, dan ternyata belum juga masuk, hitungkah berapa kali kita menulis bentuk reportase ataupun opini. Sebab, belajar dari pengalaman banyak orang, dan tentu saja para kompasianer sendiri, untuk bisa dimuat di kolom media massa mainstream, bisa puluhan kali ditolak, bahkan ratusan, untuk baru kemudian bisa tampil mentereng, misalnya, di rubrik opini kompas edisi cetak.

Jaman komputer jauh lebih mudah dan sangat membantu dalam proses tulis menulis, terutama jika ditolak media massa. Sedikit diutak-atik, ganti data, save, lalu siap dikirimkan ke media massa yang lain dan melalui email. Pengalaman saya di paruh akhir tahun 80-an sampai awal tahun 90-an, ketika tulisan kita ditolak, kita harus mengetik ulang dengan ketik manual, dilarang menggunakan tip-ex, dan mengirimkan lagi ke media massa lainnya, tentu saja melalui kantor pos. Tempel prangko...

Salam dan tetap semangat....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun