Mohon tunggu...
Mukhotib MD
Mukhotib MD Mohon Tunggu... profesional -

Aktif mengikuti dan menjadi fasilitator pendidikan kritis rakyat, berbagai pelatihan, seminar dan workshop, dengan issue penguatan keadilan jender, kesehatan reproduksi, HAM, HIV/AIDS, Islam ke-Indonesia-an, dan jurnalistik. Menjadi jurnalis online di kantor berita swara nusa (www.swaranusa.net), dan menulis, mengedit beberapa buku.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bayi dalam Lingkar Cahaya

13 Mei 2011   14:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:45 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ibu, ketahuilah saya sangat mencintaimu. Aku hadir untuk menghibur, agar Ibu tak merasa sepi dan sendiri. Bukan untuk membuat Ibu selalu merasa bersalah, apalagi menyalahkan."

Surti tetap diam. Pikirannya melambung-lambung, melompat-lompat tak terkendali. Jantungnya berdetak tak berirama. Menghasilkan peluh dingin, menyapu seluruh tengkuknya. Ia seakan-akan ingin agar waktu berhenti total sehingga pertemuan malam ini tak pernah lagi berakhir dan tak pernah akan dimulai.

"Aku dengan ikhlas menerima tindakan Ibu yang mencegahku untuk terlahir ke dunia. Sebab mungkin memang lebih baik jalan hidupku seperti ini, tak terlahir ke dunia yang tak lagi jelas ujung pangkalnya."

"Aku sungguh ingin selalu menemani ibu sepanjang waktu. Tetapi takdirku telah sampai pada garisnya. Besok malam aku tak akan lagi menemui Ibu, aku tinggal di surga bersama bayi-bayi seusiaku dalam asuhan malaikat-malaikat suci."

"Aku akan selalu menunggu Ibu di pintu surga. Bersama-sama menghirup wangi bunga-bungan semerbak, gemercik air sungai yang bening tak tertandingi, dan ranumnya buah-buah di setiap ujung dahan."

Surti makin bergetar. Tubuh kurusnya seakan-akan tak mampu menyangga jalan hidupnya. Sumsum terasa mengering, dan tulang-tulang itu seperti melipat begitu saja. Ada dorongan yang begitu kuat untuk memeluknya. Keinginan yang sudah dipendamnya selama 365 hari. Dan kali ini ia akan melakukannya, sebab kata-kata bayinya sungguh menandakan sebuah perpisahan yang amat panjang. Bahkan untuk bertemu saja ia ragu bisa melakukannya.

"Izinkan aku memelukmu sekali saja," kata Surti memberanikan diri. Ketakutan menggumpal-gumpal menyesakkan dadanya. Nafasnya memburu, mengalir deras, seperti air terjun bening di balik bukit dusun Bluwangan. Di air terjun itulah dirinya dulu diperdaya oleh Kliwon, dihembuskan angin surga, dan lalu dipaksa melakukan hubungan seks yang sama sekali tidak dinginkannya.

"Ibu peluklah aku, ciumlah aku sepuasmu."

Tangan Surti menjulur getar. Menyentuh lembut kulit putih bersih bayinya. Air matanya mengalir kembali, tangis perempuan yang tak pernah berhenti memujiNya dalam setiap keheningan malam, mencium tanah dengan khidmat, tak berjarak setelah bayinya pergi bersama cahaya dan awan yang meliputinya.

Dipeluknya erat-erat dan dibuka kancing baju bagian depannya. Menyodorkan puting susunya yang berair dan subur, mengecang. Bayi itu menerimanya, membuka mulut yang mungil dan menghisap puting susu Surti. Kebahagiaan menyulusup lembut ke dalam setiap pori hatinya.

Di pagi buta itu, warga dusun Bluwangan berhamburan. Menemukan Surti terduduk di atas kayu mahoni, tak bernyawa lagi.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun