[caption id="attachment_157006" align="alignleft" width="300" caption="Ashadi Siregar dan PM Laksono, dalam Diskusi Buku "Memecah Tabu""][/caption] Bagi yang sering ke Yogyakarta, bisa dipastikan pernah mendengar cerita tentang "Pasar Kembang". Ini hanyalah sebutan untuk daerah yang tidak terlalu luas, di sebelah selatan Stasiun Kereta Api Tugu, masuk dalam wilayah kampung Sosrowijayan, Kecamatan Gedung Tengen. Orang sering menyebutnya sebagai lokalisasi, kenyataannya bukan demikian. Yogyakarta tidak memiliki kebijakan mengenai lokalisasi, seperti yang terjadi di Kota Surabaya, dengan kawasan Dolly-nya. Karena itu, "Pasar Kembang" lebih tepat disebut sebagai hotspot, tempat para perempuan memilih profesi sebagai pekerja seks. Hotspot pekerja seks di Yogyakarta, sebenarnya tidak hanya di Pasar Kembang. Daerah Giwangan, juga menjadi menjadi wilayah hotspot pekerja seks. Saat ini sudah dibubarkan karena kawasan ini dibangun terminal bus Giwangan. Wilayah hotspot terakhir di Kota Yogyakarta, disebut Ngebong Mati, yang terletak di sebelah barat Stasiun Tugu. Saat ini sedang terjadi sengketa, karena PT. Kereta Api Indonesia, yang menguasai tanah, menutup paksa kawasan ini. Di wilayah pantai, hotspot pekerja seks juga berkembang, seperti di Parangkusumo. Dulu sebelum Pemerintah Kabupaten Bantul memberlakukan Perda Pelarangan Pelacuran, kawasan ini selalu ramai dikunjungi masyarakat, terutama jika bertepatan dengan malam kasih, Selasa Kliwon. "Saya bekerja sebagai pekerja seks," demikian kata salah seorang pekerja seks, saat bertemu dalam sebuah diskusi buku, yang mereka tulis sendiri. Dalam buku ini, memuat tidak kurang dari sepuluh tulisan para pekerja seks di Yogyakarta. Buku bertajuk "Memecah Tabu" ini, dibedah oleh dua pakar dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Ashadi Siregar dan PM. Laksono. Selain menulis buku sendiri, para pekerja seks juga memproduksi video komunitas yang menceritakan pandangan mereka terhadap dirinya sendiri dan bagaimana merespons pandangan orang luar terhadap diri mereka. Dari dua karya ini, bisa dengan gamblang bagaimana para pekerja seks menunjukkan sebuah perjuangan untuk pengakuan terhadap apa yang dilakukan selama ini sebagai sebuah profesi. Tidak berbeda dengan profesi yang lain, seperti pilot, pramugari dan juga pegawai negeri, serta para buruh yang bekerja di tembok-tembok industri. Gama Triyono, Koordinator Program Pengorganisasian Komunitas, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DIY, mengatakan arah gerakan komunitas Pekerja Seks memang menuju pada pengakuan identitas kultural. "Banyak problem yang bisa diselesaikan, manakala mereka diakui sebagai profesi," katanya. Menurutnya, pengakuan sebagai profesi akan menghindarkan perempuan pekerja seks dari tindak kekerasan dan eksploitasi yang sering mereka alami. Pandangan yang menganggap mereka bermasalah menjadikan tindak kekerasan itu seakan-akan diperbolehkan. "Apalagi sering muncul anggapan mereka itu sampah masyarakat. Ini tidak benar sama sekali," ujar Gama Triyono. Jika pemerintah mengakui mereka sebagai profesi, lalu bisa dikembangkan mekanisme ketat, setiap melakukan transaksi seks, para pelanggan harus menggunakan kondom. Kedisiplinan menggunakan kondom dapar mengurangi kerentanan pekerja seks menularkan virus HIV dan IMS ke pelanggan atau sebaliknya, pekerja seks tidak tertular HIV dan IMS dari pelanggannya. Dalam riset kecil yang dilakukan PKBI DIY, di kalangan pekerja seks, bisa dikategorisasikan ke dalam tiga ranah, pekerja seks yang masih ingin berprofesi, perkerja seks yang sudah hendak beralih profesi dan pekerja seks yang menjadi korban paksaan dari pasangan tetapnya maupun pacarnya. "Bagi yang sudah ingin pensiun kita usahakan membuka usaha baru, seperti berdagang. Bagi yang korban trafficking, kita rujukkan ke teman-teman yang bekerja di isu ini," ujar Gama Triyono.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H