Kampanye Penggunaan Kondom”, selalu menjadi topik hangat dalam perbincangan mengenai penanggulangan HIV dan AIDS. Sebuah perdebatan yang selalu saja terulang, dengan isi yang tetap sama dari tahun ke tahun. Pertanyaannya, kenapa debat semacam ini terus saja terulang? Jawaban atas pertanyaan sederhana ini yang hendak coba dikuak dengan menelusuri akar problemnya.
Makna penting menjawab pertanyaan di atas, berkaitan dengan adanya kebuntuan dialog dalam memahami fungsi dan efektivitas kondom sebagai alat pencegahan transmisi HIV. Sebagaimana dipahami bersama, antar pihak sudah saling mengajukan argumentasi berdasarkan riset akademis mengenai efektivitas kondom: temuannya sama-sama memiliki pijakan untuk mengatakan efektif dan tidak efektif penggunaan kondom. Debat tidak akan berkesudahan, karena antar pihak nyata-nyata memiliki pendekatan yang berbeda dalam melihat kondom itu sendiri. Alternatif wacana meski dimunculkan sebagai jalan baru untuk mendialogkan kembali secara terbuka dan produktif.
Pendekatan yang Ada
Mengikuti perdebatan kampanye penggunaan kondom, kita bisa memilah ke dalam dua pandangan besar, yang pada akhirnya mengerucut pada pertentangan wacana. Pertama, pandangan yang memosisikan HIV dan AIDS sebagai fenomena medis belaka. Pandangan ini melihat, upaya pencegahan transmisi HIV dan AIDS bisa dilakukan dengan mengubah berbagai perilaku berisiko menjadi lebih aman dan sehat dalam ukuran-ukuran medis. Berbagai strategi dimunculkan sebagai bentuk turunan dari pandangan ini. Misalnya, pencegahan transmisi bisa dilakukan manakala setiap orang terhindar dari perilaku berisiko, antara lain, selalu menggunakan kondom manakala melakukan hubungan seks dengan berganti-ganti pasangan (multi-partners). Tidak berganti-gantian jarum suntik dengan temannya manakala mengkonsumsi drug. Mengikuti terapi atau program PMTCT bagi perempuan terinfeksi HIV saat mengandung. Dan mendapatkan jaminan dari provider, manakala melakukan transfusi darah. Kondom, dalam konteks ini ditempatkan sebagai medium pencegahan bagi mereka yang berganti-ganti pasangan, dan benar-benar yakin atau tidak yakin status dirinya atau pasangannya (salah satu di antara mereka) positif terinfeksi HIV.
Kampanye penggunaan kondom, dengan demikian, menemukan justifikasi kebutuhannya, karena nyata-nyata berbagai riset membuktikan efektivitas kondom dalam mencegah terjadinya transmisi virus. Kampanye penggunaan kondom pada akhirnya sedang menuju pada perubahan perilaku sehat dan aman dalam melakukan hubungan seks dalam arti, bisa menghindarkan penularan virus di antara pasangan.
Kedua, pandangan yang memosisikan HIV dan AIDS sebagai fenomena moralitas belaka. Pandangan ini melihat, upaya pencegahan HIV dan AIDS bisa dilakukan dengan cara mengubah perilaku berisiko dengan menghindarkan diri sama sekali dari berbagai perbuatan yang dituding sebagai ruang terjadinya transmisi virus dengan standard-standard moralitas. Berbagai kerangka startegi dimunculkan dengan melakukan penghapusan-penghapusan berbagai tindakan yang melanggar nalar moralitas. Misalnya, karena prostitusi dalam doktrin moralitas dinilai sebagai perzinaan yang dilarang agama, maka perzinaan dalam praktek prostitusi harus dihapuskan, para pengguna narkotika—suntik dan bukan suntik harus dihapuskan, homoseksualitas harus dimusnahkan dan seterusnya.
Kampanye penggunaan kondom, dengan demikian, menemukan justfikasinya untuk ditolak. Nalarnya, penyebaran kondom secara bebas, justru akan menyuburkan terjadinya hubungan seks bebas, baik dengan alasan mencegah terjadinya transmisi maupun kehamilan yang tidak dikehendaki. Pandangan ini juga mampu menunjukkan berbagail riset yang nyata-nyata menunjukkan ketidakmampuan kondom untuk mencegah transmisi virus dari satu orang ke pasangannya. Karenanya, penggunaan kondom, pada akhirnya, hanya jatuh pada ruang mendorong terjadinya perzinaan secara besar-besaran di negeri ini.
Alternatif Pemikiran
Kiranya, saat ini, dibutuhkan alternatif pandangan yang tidak saja keluar dari kebuntuan dialog, tetapi juga mampu menyatukan pemahaman dari dua pandangan yang berbeda. Dalam kerangka ini tentu saja tidak cukup hanya pada diskusi mengenai perubahan metode maupun strategi dalam mengkampanyekan penggunaan kondom maupun penolakan kampanye penggunaan kondom. Misalnya, kampanye kondom tetap dilakukan, tetapi tidak secara sembarangan, wilayahnya sudah ditentukan, dilakukan dengan cara tertutup dan lain sebagainya. Simpulan semacam ini, tentu saja hanya akan dianggap sebagai menguntungkan satu pihak belaka.
Jalan pemikiran yang hendak dikembangkan sebagai alternatif adalah meletakkan HIV dan AIDS tidak semata-mata sebagai fenomena medis dan tidak juga semata-mata sebagai fenomena moralitas. Dekonstruksi cara pandang ini, meletakkan HIV dan AIDS sebagai fenomena sosial, yang di dalamnya tidak saja mencakup soal problem medis dan nilai-nilai moral, melainkan sebagai problem sosial yang bergandeng renteng dengan sisi kehidupan yang lain, seperti ketidakadilan sosial, seperti kemiskinan, kebudayaan yang diskriminatif, kekuasaan yang timpang, dan rendahnya tingkat pendidikan, keterbatasan ketersediaan informasi yang memadai.
Manakala memasuki wacana HIV dan AIDS sebagai problem sosial, mendiskusikan soal prostitusi yang dianggap sebagai perilaku berisiko dari cara pandang media dan dianggap perzinaan dari cara pandang moralitas, tidaklah cukup dengan kampanye penggunaan kondom dan gerakan-gerakan penghapusan prostitusi semata-mata untuk mencegah terjadinya transmisi HIV dan AIDS. Strategi yang dilakukan haruslah komprehensif, menyentuh sendi kehidupan sosial lainnya. Bisa mulai dengan melakukan pembaruan ekonomi sehingga tidak melahirkan kelompok lain yang dimiskinkan, dekonstruksi kebudayaan, sehingga tidak berkembang nilai-nilai tradisi yang menempatkan satu pihak lebih kuat dari pihak yang lain, pembaharuan sistem politik, sehingga memberikan ruang yang lebih substantif, tidak semata-mata anutan demokrasi prosedural.