Mohon tunggu...
Mukhnizar Sabri
Mukhnizar Sabri Mohon Tunggu... -

Kerinci, Praktisi Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guru dan Mantan Siswa

22 Februari 2014   05:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:35 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kalau ada yang bertanya, siapa yang paling berbahgia saat ini : sayalah orangnya.” Itu kalimat pembuka yang disampaikan seorang guru kepada mantan siswa yang sukes dalam cara halal bihalal. “Dulu saya menemukan wajah-wajah lugu, culun sekaligus lucu plus nakal,” lanjutnya yang disambut tawa dan tepuk tangan mantas siswanya itu. “Tapi hari ini saya berhadapan dengan orang-orang sukses. Saya tau di sini ada yang jadi petani, pedagang, pegawai, dokter, politisi, tentara, polisi, guru/dosen, Pemerintahan, Perwakilan rakyat. Bagi saya, kalian adalah orang yang sukses. Orang yang telah berusaha kemudian mendapatkan kepuasan. Kalian sudah mendapatkan itu.”

Adalah naïf apabila seseorang merasa tidak sukses karena “hanya” menjadi petani, padahal ia sarjana pertanian sebagaimana juga naifnya seorang “produser bata tanah (wiraswasta)”  merasa gagal karena lulusan fakultas ekonomi. Lebih konyol lagi kalau seorang yang menajdi sukses menjadi camat lalu merasa lebih hebat ketimbang temannya yang jadi “Cuma” jadi guru sebagaimana konyolnya seorang yang “sekedar” seorang seniman yang mider dari temannya yang menjadi wakil rakyat.

Sang guru tadi, yang puluhan tahun jadi guru, tapi tak pernah “naik kelas” menjadi Kepala Sekolah, Pengawas, apalagi Kepala Dinas, tidak terlihat minder, malah merasa “bahagia” di hadapan mantan siswanya yang mungkin, di mata selain dirinya, lebih sukses dari sang guru itu sendiri. Sebab adalah tidak relevan untuk membandingkan mana yang lebih baik, terhormat, mulia antara polisi dengan politisi misalnya. Atau mana yang lebih jelek, hina, kotor antara batu dan kayu. Sebab kebaikan itu sebagaimana juga keburukan bisa ada di mana-mana, tak terkecuali misalnya pada jabatan hakim bahkan juga pada “pribadi “ pegiat dan penganjur agama dan moral.

Karena itu berhentilah untuk cepat berkesimpulan orang itu baik, jelek, hebat, sukses atau gagal. Karena semuanya tak ajeg,, tapi terputus-danmungkin juga  bergelombang, naik dan turun. Baik, buruk lalu baik lagi. Sukses, gagal, sukses dan gagal lagi. Jatuh, bangun, jatuh, tatuh, dan bangun lagi dan seterusnya.Sangat alamiah.

Oleh karena itu, sukses dalam konteks yang disebut guru di atas adalah rasa puas dari produk upaya maksimal pada saat itu. Kalupun kemudian ternyata, dan memang bisa,  gagal lagi bukan berart dia tidak sukses. Itu pertanda  harus mengusahakan untuk beruapaya sehingga samap dimana  rasapuas itu bisa ditemukan kembali. Karena dengan begitu hidup ini akan menjadi lebih hidup.

Salam sukses

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun