“Kalau ada yang bertanya, siapa yang paling berbahgia saat ini : sayalah orangnya.” Itu kalimat pembuka yang disampaikan seorang guru kepada mantan siswa yang sukes dalam cara halal bihalal. “Dulu saya menemukan wajah-wajah lugu, culun sekaligus lucu plus nakal,” lanjutnya yang disambut tawa dan tepuk tangan mantas siswanya itu. “Tapi hari ini saya berhadapan dengan orang-orang sukses. Saya tau di sini ada yang jadi petani, pedagang, pegawai, dokter, politisi, tentara, polisi, guru/dosen, Pemerintahan, Perwakilan rakyat. Bagi saya, kalian adalah orang yang sukses. Orang yang telah berusaha kemudian mendapatkan kepuasan. Kalian sudah mendapatkan itu.”
Adalah naïf apabila seseorang merasa tidak sukses karena “hanya” menjadi petani, padahal ia sarjana pertanian sebagaimana juga naifnya seorang “produser bata tanah (wiraswasta)” merasa gagal karena lulusan fakultas ekonomi. Lebih konyol lagi kalau seorang yang menajdi sukses menjadi camat lalu merasa lebih hebat ketimbang temannya yang jadi “Cuma” jadi guru sebagaimana konyolnya seorang yang “sekedar” seorang seniman yang mider dari temannya yang menjadi wakil rakyat.
Sang guru tadi, yang puluhan tahun jadi guru, tapi tak pernah “naik kelas” menjadi Kepala Sekolah, Pengawas, apalagi Kepala Dinas, tidak terlihat minder, malah merasa “bahagia” di hadapan mantan siswanya yang mungkin, di mata selain dirinya, lebih sukses dari sang guru itu sendiri. Sebab adalah tidak relevan untuk membandingkan mana yang lebih baik, terhormat, mulia antara polisi dengan politisi misalnya. Atau mana yang lebih jelek, hina, kotor antara batu dan kayu. Sebab kebaikan itu sebagaimana juga keburukan bisa ada di mana-mana, tak terkecuali misalnya pada jabatan hakim bahkan juga pada “pribadi “ pegiat dan penganjur agama dan moral.
Karena itu berhentilah untuk cepat berkesimpulan orang itu baik, jelek, hebat, sukses atau gagal. Karena semuanya tak ajeg,, tapi terputus-danmungkin juga bergelombang, naik dan turun. Baik, buruk lalu baik lagi. Sukses, gagal, sukses dan gagal lagi. Jatuh, bangun, jatuh, tatuh, dan bangun lagi dan seterusnya.Sangat alamiah.
Oleh karena itu, sukses dalam konteks yang disebut guru di atas adalah rasa puas dari produk upaya maksimal pada saat itu. Kalupun kemudian ternyata, dan memang bisa, gagal lagi bukan berart dia tidak sukses. Itu pertanda harus mengusahakan untuk beruapaya sehingga samap dimana rasapuas itu bisa ditemukan kembali. Karena dengan begitu hidup ini akan menjadi lebih hidup.
Salam sukses
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H