Mohon tunggu...
Mukhlisuddin ilyas
Mukhlisuddin ilyas Mohon Tunggu... -

Bekerja di Bandar Publishing, Mengajar dan Meneliti. Tinggal di Banda Aceh

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Uda, Ambo Nio Sakolah !

13 Juli 2010   09:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:53 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



Kami duduk dibelakang reruntuhan rumah Pendi. Di rumah rerentuhan itulah, Pendi tidur beralaskan tikar, dindingnya masih kosong dan atap rumahnya masihbolong-bolong. “Di rumah ini saya tidur, bapak, ibu dan kedua adik saya tidur di rumah darurat sebelah sana”, kata Pendi kepada saya (27/12/2009), sambil menunjuk rumah yang hampir roboh akibat gempa yang berdinding papan bekas, dengan atap seng yang dibalut terpal hijau, ukurannya 4 x 6 cm.

Di tempat itulah kedua orang tua dan dua adik Pendi tidur. Karena rumah, semi parmanen milik orang tuanya rusak berat akibat gempa tektonik Nopember 2009 silam, sampai sekarang, semua warga di Bukit Malintang, Tanjung Mutiara yang rumahnya roboh belum dibangun sama sekali oleh Pemerintah maupun pihak terkait.

Ini adalah kisah nyata anak pendalaman di Provinsi Sumatera Barat. Pendi (16tahun). Dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata, ia dengan senang hati, meladeni saya untuk menanyakan perihal kehidupanya sebelum dan sesudah gempa Sumbar 30 September 2009 lalu. Suasana diskusi kami sempat berhenti, karena sesekali Pendi, terpaksa memakai bahasa minang, karena ia tak begitu lancar berbahasa Indonesia. Sedangkan saya, tak cakap berbahasa minang, ketika itu, saya hanya bisa berusaha untuk mengerti apa yang ia ucapkan. Untungnya ada Pak sopir yang membawa saya untuk menerjemahkan maksud percakapan Pendi. Pendi pun ikut ketawa.

Usia Pendi masih sangat muda. 16 tahun. Ia sekolah tamat SD di Bukit Malintang, Kec. Tanjung Mutiara, Kab. Agam, Provinsi Sumbar, tahun 2006. Berarti sejak 3 tahun lalu, jauh sebelum gempa ia telah menjadi tulang punggung keluarga, untuk menutupi kebutuhan Bapak, Ibu dan 2 adiknya yang masih sekolah.

Seharusnya, kalau Pendi masih sekolah, maka ia akan duduk di kelas 3 SLTP. Tapi sayang, masa-masa keemasannya, terpaksa harus ia habiskan dengan bekerja. Tak tanggung-tanggung. Pendi bekerja apa asa. Asal menghasilkan upah, untuk dapat memberi jajan kepada 2 adiknya dan dapat membantu kehidupan sehari-hari kedua orang tuanya.

Di kampungnya, anak seusia Pendi pergi ke sekolah setiap paginya. Sebaliknya bagi Pendi, ia bekerja. Pekerjaan yang sering ia lakukan adalah mengupas kelapa, mengembala sapi, potong rumput, dan menjadi buruh tani. Yang rutin ia lakukan dari pagi hingga sore, setiap harinya adalah menjadi “mandor” moyet memanjat kelapa. Saya ikut menyaksikan 2 ekor moyet yang sudah dilatih diikat di halaman bekas reruntuhan rumah Pendi. Moyet itu sangat akrab dengan Pendi. Moyet itulah yang memetik kelapa setiap harinya, dan Pendi adalah “mandor moyet”. Moyet, kata Pendi, akan memetik kelapa sesuai dengan intruksinya dibawah pohon kelapa.

Di Minang, yang memanjat kelapaitu moyet. Moyet akan menunggu perintah mandornya yang berdiri dibawah pohon kelapa. Beda dengan di Aceh, orang yang memanjak kelapa. Kebiasaan umum di Minang, pekerjaan ini juga dilakukan oleh orang yang sudah dewasa.Namun tidak berlaku bagi Pendi. Di usia yang sangat belia, ia menghabiskan waktunya dengan moyet untuk memetik buah kelapa. Semata-mata untuk menutupi kebutuhan keluarganya.

Disela-sela rutinitas harian itulah. Pendi juga menjadi buruh perkebunan, tani dan jenis aktivitas lainnya. Menurutnya, upah yang sering ia terima Rp. 30.000.- (tiga puluh ribu rupiah) per harinya. Setiap penghasilan yang ia dapatkan, bila ia bekerja di tempat orang lain. Uang yang dihasilkan diserahkan kepada orang tuanya,kalau ada sisa ia berikan jajan sekolah kepada dua adiknya.

Bermain. Layaknya anak-anak se usia Pendi. Hal yang tak mungkin dilakoni oleh Pendi. Rutinas kerja, sebagai “mandor” moyet untuk manjat kelapa harus ia kerjakan, mulai jam 08.00-17.30 WIB setiap harinya. “Setiap hari saya memetik kelapa dengan moyet ini, siang Bapak mangantar nasi, sore baru saya pulang”, begitu ujarnya dalam bahasa Indonesia yang terbata-bata.

Ketika ditanya ke mana saja Pendi akan pergi jika ada waktu lowong, ia hanya senyum manis, sambil melirik dua adiknya yang berdiri tak jauh dari Pendi dan saya. Menurut penuturannya, Pendi hanya akan keluar dari rutinitasnya kalau saat libur kawannya yang masih sekolah dan lebaran. Itu pun, ia hanya bermain diseputaran pasar kecamatan Tanjung Mutiara. Ia belum pernah ke kota Padang, malah ke Padang Pariaman saja yang jaraknya sekitar 50 Km, Pendi belum pernah mengunjunginya. Pendi berharap, suatu saat nanti, ia bisa keluar dari Bukit Malintang, untuk melihat-lihat Kota Padang dan sekitarnya.

Pendi, dengan postur tubuh yang kekar, panjang 130 cm, dengan perawakan hitam manis. Terlihat lebih tua dari usianya. Dan itu wajar, karena Pendi yang seharusnya setiap pagi, lengkap dengan seragam ke sekolah, malah ia melakukan pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang yang lebih dewasa. Pendi anak yang rajin, tak pernah membantah perintah kedua orang tuanya. Kalau pun ia membantah, ia akan menerima sabetan dengan ranting kayu dari bapaknya. Tak ada solusi. Tetap harus bekerja.

Ia sangat senang bisa membantu kedua adiknya yang masih sekolah. Makanya kalau ada upah hasil kerjanya, selalu ia sisihkan untuk uang jajan kedua adiknya. Ia juga belum putus asa, suatu saat nanti ia bisa sekolah lagi. “uda, ambo nio sakolah (Abang, saya mau sekolah)”, Begitu ujarnya kepada saya. Saya angguk-angguk saja, sambil melirik Tommy yang berdiri si samping saya. Tommy sendiri, kalau pergi dengan saya, akan menjalani tugas ganda; sopir dan penerjemah Minang-Indonesia.

Sambil melirik, Tommy. Terlihat sesudah mengucapkan kalimat singkat itu. Pendi tak percaya terhadap keinginannya itu, karena kalau ia sekolah siapa yang akan membantu kedua orang tuanya untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Dan siapa pula yang akan memberikan jajan sekolah kedua adiknya yang masih sekolah. Dan masih banyak pertanyaan yang berkecamuk dalam pikirannya…

Pendi dan Keluarga

Awalnya, Pendi hidup dalam keluarga besar. Pendi memiliki 8 saudara kandung. Ayah Pendi, namanya Roslan (50 tahun), bekerja sebagai buruh tani dan jualan kelapa ke pasar Sungai Sariek, Padang Pariaman, 35 Km dari tempat mereka tinggal, kelapa itu hasil petikan Pendi dan moyetnya, ibunya ernita (45 tahun), murni ibu rumah tangga. Pendi memiliki kakak, namanya Silani; sudah berkeluarga, sekarang tinggai di Pekan Baru. Fitriani; sudah berkeluarga, sekarang tinggal Pekan Baru. Deswita; sudah berkeluarga, sekarag tinggal di Jakarta. Elvita; masih lajang, sekarang bekerja di toko baju di Jakarta. Dermawan; meninggal waktu masuh berumur 7 bulan. Kemudian anak ke-7 adalah Pendi (16 tahun) tidak sekolah lagi karena tidak ada biaya, kemudian Saprianto (13 tahun), saat ini duduk kelas 1 SMP dan si bungsu Andree (9 tahun), yang masih duduk kelas 3 SD.

Hanya Saprianto dan Andree yang masih sekolah. Dan tanggungannya sebagian uang jajan mereka adalah dari abangnya yang tamatan SD itu; Pendi. Sedangkan kakaknya yang sudah berkeluarga di Pekan Baru dan di Jakarta, menurut Pendi hanya cukup untuk mereka saja. Tak ada kiriman dari kakaknya untuk biaya sekolah kedua adiknya.

Menurut cerita Suprianto, adik Pendi. Bisanya Pendi selalu, selalu bangun lebih cepat untuk mengantar mereka ke sekolah, yang jaraknya 6 Km. Namun setelah gempa, motor Yamaha yang biasa dipakai Pendi untuk mengantar Supri dan Andree rusak berat, maka otomatis Supri harus jalan kaki ke sekolah, yang jaraknya mencapai 6 Km. Sedangkan si bungsu, hanyai 3 Km menuju ke sekolah. Pasca gempa, mereka harus bangun cepat dan teratur, supaya tidak terlambat masuk sekolah.

Supri dan Andree, biasanya sebelum gempa mengaji di Surau yang jaraknya 1 Km dari rumahnya. Namun setelah gempa, surau roboh. Supri dan adiknya sama sekali tak mengaji lagi, dan ratusan anak di desa bukit malintang bernasib sama dengan Supri dan Andree. Berbeda dengan Pendi. Ia memang tak mengaji lagi, walau usianya masih 16 tahun, karena malam jatah istirahat baginya.Setelah seharian setiap harinya ia mengisi kekanakannya dengan beragam aktivitas orang dewasa.

Jorong (desa) bukit Malintang, kabupaten. Agam. Sumatra Barat, dimana Pendi dan keluarganya menetap. Menjadi salah satu desa yang parah akibat gempa tektonik 30 September 2009 lalu. Menurut keterangan Wali Jorong (Kepala Desa), Zainuddin, kepada saya mengatakan bahwa mayoritas kehidupan warganya miskin. “Warga kami ada 1.292 jiwa, dengan 300 kepala keluarga, kehidupan warga mayoritas miskin dengan tingkat pendidikan yang rendah”, ceritanya kepada saya, didepan rumahnya yang ia sulap menjadi kios, 27 Desember 2009 lalu.

Zainuddin menabahkan bahwa rumah warganya, 90 % rumahnya rusak berat, sedang dan rusak ringan. Bantuan rekontruksi rumah warga yang roboh dan rusak, sama sekali belum ada tanda-tanda. Sejauh ini, menurut catatan Zainuddin, penghasilan warganya dalam bertani juga rendah, karena irigasi rusak akibat gempa, dan banyak warganya yang pria kembali merantau mencari penghidupan di rantau.

Zainuddin sendiri, sebagai Wali Jorong, yang rumahnya roboh, terpaksa membangun rumah seadanya yang disulap menjadi kios juga. Karena menurutnya, banyak tamu yang dating tidak ada tempat berteduh, apalagi ia sebagai Wali Jorong banyak tamu yang dating untuk memberi bantuan-bantuan kepada warganya dalam bentuk yang ringan-ringan. “Insyallah bantuan sudah banyak di terima warga, tapi bantuan rumah untuk warga sama sekali belum ada tanda-tanda”, begitu ia menutup pembicaraan.

Akhirnya, saya ditemani Tommy. Sopir merangkap penerjemah bahasa minang kembali menempuh perjalanan, menelusuri sungai jorong Bukit Malintang yang menjadi pembatas kabupaten Agam dan kabupaten Padang Pariaman. Sesekali melihat ke arah selatan, di atas bukit, dimana rumah Pendi yang rubuh akibat gempa, masih belum tersentuh rekontruksi. Dan terbayang Pendi, anak yang masih ber usia 16 tahun, yang seharusnya berseragam sekolah, bercanda ria dengan sahabat-sahabatnya. Malah berada di bawah pohon kelapa, sambil memerintah moyetnya memetik pohon kelapa, hanya untuk bisa membantu kehidupan kedua orang tua dan jajan sekolah kedua orang adiknya. Semoga saja “Ambo Nio Sakolah”, saya mau sekolah, yang di ucapkan Pendi, bisa terwujud hendaknya. Semoga. Wassalam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun