Terlepas dari itu, ada sebuah sudut pandang menarik yang Saya dapatkan dari kuliah bersama Prof. Mahmud Arif.. Seperti bercanda, dalam menjelaskan pengkajian Islam (islamic studies) ia menggambarkan bagaimana mata kuliah tersebut memandang Islam sebagai objek kajian. Agar bisa dibedakan dari Islam sebagai sumber pengetahuan atau subjek yang memberikan pengetahuan. Bahwa ada kalanya Kita membayangkan agama sebagai sebuah teknologi.
      Apa yang dimaksud dengan teknologi? Alat bantu untuk mempermudah hidup manusia bukan? Begitu pula agama, agama hendaknya dipandang sebagai sebuah teknologi. Dengan teknologi agama itu manusia mampu mengatur hidup seorang individu karena akan adanya hari akhir dan pembalasan. Teknologi agama dapat mengatur keluarga, masyarakat, bahkan peradaban besar yang kiranya tak perlu lagi disebutkan satu per satunya karena terlalu beragam dan unik.
      Dalam kasus yang Kita ceritakan sejak di awal, begitu pula agama sebagai teknologi ekologi. Ketika hadis-hadis ekologis tidak berhenti pada ranah iman (teologis). Mewujudkannya dalam bentuk blue print -- blue print yang difatwakan secara rapi akan mewujudkan bentuk peribadatan atau ritus teknologi ekologi bertenaga spiritual. Misalnya dengan menambahkan sunnah menanam pepohonan tertentu disamping menyembelih hewan saat aqiqah.
      Suku Baduy dengan agamanya sendiri telah mencontohkan dalam bentuk menanam pohon di atas kubur orang yang mati. Sehingga tidak ada kuburan pada adat Baduy, mayatnya menjadi pupuk bagi pohon yang setiap daunnya mengubah racun menjadi sumber kehidupan. Itu pun, gagasan agama menjadi teknologi ekologis, kalau mau mengubah kesan Islam sebagai agama pendatang yang membawa inovasi (lagi). Menipiskan apa yang kata orang sebagai "agama impor".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H