Mohon tunggu...
Mukhlis Syakir
Mukhlis Syakir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Nyeruput dan Muntahin pikiran

Mahasiswa Pengangguran yang Gak Nganggur-nganggur amat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mengelola Kesadaran Jasadiyyah

14 Maret 2024   02:57 Diperbarui: 14 Maret 2024   03:02 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

                Agaknya, kritik Saya terhadap agama atau kalau tak mau disalahkan sebut saja oknum-oknum agama. Ialah terlalu fokus pada bagian ruhani. Padahal, salah satu realita hidup di dunia yang harus diterima ialah keterpenjaraan jiwa oleh jasad.

                Memang, puasa ramadan merupakan salah satu cara Tuhan untuk menerbangkan jiwa dari keterkaitan dengan jasad menuju alam ruhani. Akan tetapi, sekaligus sebaliknya. Puasa menyadarkan manusia bahwa Kita tak akan pernah bisa lepas dari kebutuhan jasad. Dari lapar menyadarkan Kita akan kebutuhan makan, dari haus menyadarkan Kita pada kebutuhan minum, dan dari syahwat menyadarkan Kita pada kebutuhan pada kembang biak.

                Sesekali, terlepas dari jasad dengan alibi mendekatkan diri pada Tuhan memang jadi obat. Tapi tak lain juga pelarian. Pelarian dari tidak terpenuhinya kebutuhan jasad. Oleh karena itu Marx mengatakan "Agama adalah Candu", pun Nietszche bersabda "Tuhan itu diciptakan".

                Padahal salah satu bagian daripada berpuasa ialah adanya berbuka. Setelah Kita terlepas dari penjara hajat-hajat jasad tak terkendali. Pada akhirnya Kita harus mau menerima bahwa belenggu jasad akan terus menghantui manusia selama hidupnya. Karena itu, dalam falsafah Hindu, orang yang belum mencapai moksa (kematian sejati). Akan terus disiksa dalam neraka berupa kehidupan yang berulang, reinkarnasi.

                Sekilas, reinkarnasi seakan bentuk keabadian yang menyenangkan. Padahal, tidak ada keabadian yang menyenangkan. Keabadian di dunia justru berarti siksaan tiada henti. Kalaupun bereinkarnasi menjadi sosok yang lebih terhormat, ustadz misalnya. Tentu cobaannya akan seperti peribahasa, "semakin tinggi pohon menjulang, semakin besar angin menghadang".

                Akal yang didewa-dewakan oleh manusia akan semakin menakutkan seiring dengan besarnya daya, lemahnya kuasa. Hati yang dianggap suci, mudah dikelabui oleh bisikan-bisikan iblis. Semesta yang katanya bekerja dengan hukum kausalitas, seringkali gagal bekerja seiring terbongkarnya hukum kausalitas yang kemudian diekspolitasi. Lantas mana nurani yang katanya suci?

                Akhirnya Kita hanya bisa mengelola kesadaran jasadiyah. Bukan kabur dari jasad lalu menjadi manusia suci. Melalui karunia Tuhan bernama Puasa, sesekali Kita membatasi kebutuhan jasadiyyah menuju alam ruhani yang suci. Namun kembali saat adzan maghrib berkumandang, menjadi manusia yang makhluk bumi. Manusia yang sudah melebur antara raga dan jiwa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Baca juga: Syi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun