Adalah hal menarik dari perjalanan Mas Iqbal Adji Daryono untuk mencium harumnya tanah suci Karbala. Jujur saja, saya sendiri belum membaca bahkan memegang buku beliau "Lelaki Sunni di Tanah Syiah" sekalipun. Ngelesnya sengaja, biar pas ada tulisan ini tidak terpengaruh oleh hasil bacaannya. Atau biar gak kena spoiler. Padahal, ya memang belum ada duitnya saja.
        Hal menarik dari ngobrol santai semalam dengan Kolaborasi Buku ialah bagaimana seorang Muhammadiyin datang ke tanahnya Syi'ah. Memang kalau melihat mas Iqbal yang sudah tak asing dengan imagenya sebagai orang Muhammadiyah yang nyentrik. Tak aneh juga bagi saya jika beliau datang ke sana. Tapi ini murni datang ke Karbala bukan karena proyek kampus atau penelitian ilmiah lainnya. Murni memakai uang sendiri. Itu yang membuat saya tertarik.
        Saya seperti melihat diri saya sendiri yang kata orang sih aneh. Sudah belepotan dengan kultur NU, eh beberapa kali dengan sengaja berkeliling berbagai ormas yang ada. Bahkan tanah suci Yogyakarta bagi saya pribadi ya Masjid Kauman. Setiap kali ke Yogyakarta, bukan Malioboro yang saya incar. Tapi Masjid Kauman. Masjid Kauman bagi saya memiliki unsur kekudusan tersendiri. Sentuhan historis KH. Ahmad Dahlan serta lestarinya simbol Jawa Islam padanya sungguh indah.
Persentuhan memang hal yang penting untuk selalu Kita upayakan kata Mas Iqbal. Mengapa demikian? Karena dengan persentuhan antar latar belakang sosial secara langsung, Kita akan menghapus prasangka-prasangka yang sudah tertanam sebelumnya. Spirit Persentuhan itu pula yang mendorong Mas Iqbal rela mengorbankan 24 jutanya untuk tiket pesawat dari Jakarta ke Baghdad. Sehingga bisa melihat sendiri Syi'ah bukan sekedar katanya dan lihat dari apa.
Kalau mau keren, mungkin ini yang dimaksud dengan filsafat fenomenologi. Yakni bagaimana Kita membiarkan pancaindra Kita mencerap dengan penuh kesadaran pada setiap nomena (realita apa adanya). Nomena maksudnya objek yang ditujuk oleh subjek. Kalau mas Iqbal bagaimana beliau mencerap Syi'ah yang dapat ia tangkap di Karbala. Kalau saya bagaimana sekemampuan saya mengenal Muhammadiyah, NU, maupun Persis.
Ternyata, diantara info yang dikabarkan oleh mas Iqbal bahwa Syi'ah di Karbala tidak sekeji itu. Beliau bercerita tidak ada yang namanya mencambuk diri, menyayat diri, menampar-nampar wajah seperti yang sempat ramai pada tahun 2015. Memang ada beberapa yang sahih seperti salat di atas batu atau tanah Karbala, tapi tidak sedramatis yang sempat viral pada masanya. Diceritakan kalau di video yang viral dulu, orang-orang Syi'ah ngesot bahkan menjilat tanah Karbala. Tidak demikian.
Pun sepengalaman saya yang pernah ngampus di dekat masjid Ahmadiyyah. Ahmadiyyah juga tidak seanti itu dengan yang non-Ahmadiyyah. Tidak ada yang katanya salat di masjid Ahmadiyyah sudahnya akan langsung dipel tempat salat Kita. Tidak ada. Justru selama empat tahun saya kuliah, saya sangat berterimakasih pada Masjid Ahmadiyyah Singaparna Tasikmalaya yang sudah bersedia menjadi tempat saya mandi dan sebagainya. Daripada masjid kampus saya yang tidak terurus.
Hal yang sama, di Karbala kata mas Iqbal, begitu ramahnya orang-orang Syi'ah menyapa pengunjung. Menyediakan makan seperti halnya haul-haul kyai dan habaib di Indonesia. Pun orang-orang Sunni tak bermasalah ikut serta menyambut tamu-tamu karbala. Karbala bagi Syi'ah juga tidak lebih suci dari Haramain. Karbala tetap jadi tanah suci ketiga setelah haramain (Makkah & Madinah) dan Baitul Maqdis Palestine.
Dari mas Iqbal yang menulis buku ini dari September hingga Desember saya belajar pentingnya persentuhan. Bukan sekedar katanya-katanya, juga menyampaikan pada khalayak apa adanya. Beliau sendiri memposisikan diri sebagai seorang traveler bukan sebagai seorang essais yang suka ngomen segala hal. Demikian keberanian mas Iqbal untuk menjadi penulis traveler dari sebelumnya yang dikenal sebagai essais. Respect.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H