Mohon tunggu...
Mukhlis Syakir
Mukhlis Syakir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Nyeruput dan Muntahin pikiran

Mahasiswa Pengangguran yang Gak Nganggur-nganggur amat

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Saya Menyesal Golput

9 Maret 2024   14:15 Diperbarui: 9 Maret 2024   14:15 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                Pemilu kali ini tidak asyik. Bagi saya. Karena satu hal sederhana. Tidak sempat memilih komeng. Pasalnya, saya sengaja tidak mengambil surat suara. Karena apa? Karena lelah dengan hiruk pikuk pilpresnya. Padahal dalam paketan pemilu itu ada pilpres. Ada juga pileg.

                Semua ini harus menjadi catatan. Untuk penyelenggaraan pemilu selanjutnya. Ya, selanjutnya. Karena yang sudah berlalu, biarlah berlalu. Tapi keberlaluan bukan berarti membiarkannya berlalu tanpa persiapan ke depannya begitu saja.

                Seharusnya, pemilihan berikutnya memberi ruang bagi publik untuk lebih aware tentang pentingnya pemilihan legislatif. Bukankah konsep trias politika mengharuskan kuatnya setiap lini dari tiga komponen kekuasaan?

                Bagaimana mungkin kuatnya lini bisa terbentuk jika rakyat sebagai unsur utama dalam demokrasi hanya diarahkan perhatiannya pada eksekutif saja. Perlu dicetak tebal bahwa RAKYAT TIDAK MUNGKIN DIWAKILI OLEH SEPASANG PRESIDEN DAN WAKILNYA SAJA. Legislatif itu penting.

                Bagaimana mungkin rakyat bisa memilih dengan cermat pada wakilnya di legislatif. Jika memilihnya saja dengan asal. Kenapa bisa asal? Karena energinya sudah terlalu habis untuk memperhatikan pilpres. Apalagi kali ini ada empat pemilihan legislatif dan satu eksekutif secara sekaligus. Apa tidak gila? Dengan lima pemilihan sekaligus ini sudah merenggut nyawa 90 petugas terlibat KPPS.

                Nomena komeng ini bagi saya adalah sebuah fenomena teguran bagi Kita untuk lebih perhatian terhadap keterpilihan wakil Kita di Senayan. Karena, kalau tidak demikian maka lagu "Wakil Rakyat Seharusnya Merakyat" Iwan Fals akan abadi hingga hari kiamat. Banyaknya rakyat Jawa Barat memilih DPD bang komeng menunjukkan bahwa Uhuy bisa lebih spontan mewakili rakyat daripada yang lain. Bayangkan saja ada delapan lembar format C-1 untuk DPD, itu kalau tak salah sekitar 50 orang calon.

                Bukan merendahkan bang Komeng, justru saya juga ingin memilih bang komeng semenjak beliau ada di podcast Cing Abdel. Hanya saja konsentrasi saya pribadi yang teralihkan pada pilpres sehingga malas untuk memilih. Setidaknya dari beberapa hasil obrolan orang-orang pun untuk pemilihan legislatif orang-orang cenderung tidak mengenal calon yang akan mereka pilih. Bahkan rasa-rasanya istilah serangan fajar sudah menjadi hal biasa dan tidak tabu lagi seperti dulu.

                Iya sih, baik pihak KPU maupun partai-partai, pun calon sendiri sudah banyak yang berusaha memperkenalkan diri sendiri serta programnya. Tapi terlalu banyaknya pilihan secara sekaligus setelah lelah dengan saling adu argumen presiden. Masyarakat tentu memilih legislatif sudah bukan karena alasan rasional lagi, alasan viralitas, atau alasan simpel lainnya. Sebut berdasarkan nomor yang tertera di surat suara misalnya. Angka satu sudah seperti angka keberuntungan togel saat ini.

                Sedangkan mana mungkin rakyat yang berangkat pagi pulang malam. Dua atau sehari dalam seminggunya digunakan liburan. Mereka sanggup untuk memikirkan seluruh aspek kehidupan bernegara. Dari mulai spiteng sampai mobil Tank kan tidak semua punya concern kesana. Jangankan begitu, wakil rakyat yang harus bergelut dengan bisnis, bos partai, dan bininya juga belum tentu punya waktu cukup. Kecuali mereka-mereka yang Every day is Sunday kali yak.

                Oleh karena itu, sekali lagi saya meneyesal golput karena tidak memilih bang komeng. Itu kalimat klise yang selalu saya bicarakan kala obrolan pemilu kemarin disinggung bersama teman. Salah satu kalimat menarik dari bang komeng di podcast-podcast ialah beliau dijebak mencalonkan di DPD karena diajak dua rekan komediannya. Akan tetapi keuntungan di DPD tentu tidak ada bos partai yang Om Bambang Pacul pun tunduk padanya. Meskipun porsi DPD yang minimalis hendaknya dikaji ulang lagi sih.

                Akhir kata, kalau masih ada umur, pemilu 2029 seandainya harus golput pun harus ngambil surat suara. Setidaknya saya akan pilih bang komeng nanti. Titip juga bang komeng, jangan nyalon karena kejebak nanti mah ah. Masa gak belajar dari kejebak HMI-nya sih Kanda, hehehe... Ilmu Sampeu pokoknya mah Kandaaa....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun