Terpancing dari obrolan Gus Miftah di Podcast Info A1 yang merupakan segmen kanal Youtube kumparan. Saya jadi terpikir untuk mengangkat kembali isu toleransi sesama umat umat beragama (maksudnya dalam agama yang sama). Bukan karena saya memilih salah satu paslon atau bagaimana, tapi agaknya alasan tidak berpihaknya Gus Miftah pada paslon 01 -meskipun mengaku memiliki kedekatan dengan Anis Baswedan- di pilpres 2024 itu seperti sebuah ilusi.
Tapi, saya memahami bahwa alasannya bukanlah sebagaimana yang ada pada short video podcast yang seakan mengarah pada Gus Miftah sangat-sangat anti-wahabi. Akan tetapi ia sendiri mengaku berkali-kali bersilang pendapat dan mendapat sikap kurang baik dari kalangan yang "dicap" wahabi.
Yo sekyai-kyainya seseorang, tetap saja manusia to?
        Akan tetapi, fenomena ketakutan pada wahabi ini memang benar adanya di masyarakat. Kalau tidak percaya, tanya saja satu-satu kalangan Islam Tradisional. Pasti ada. Namun mohon maaf jika tidak saya sampaikan datanya, karena saya malas untuk melakukan survei jika tak dibayar.
        Setidaknya, saya mendapatkannya dalam beberapa jejak langkah selama mondok di pondok pesantren berbasis NU. Ini pun saya berani mengungkapkannya karena sudah di luar pondok saja, heuheu. Tapi tanpa mengurangi rasa hormat, kalangan Islam fundamentalis seringkali diidentikkan dengan wahabi, pun wahabi selalu diidentikkan dengan Islam fundamentalis. Berjenggot sedikit diartikan wahabi, tidak wahabi kalau tak berjenggot. Demikian dengan cadar.
        Momennya pun sama, kala itu momennya pilpres 2019. Dimana golongan you know it dengan bercirikan pakaian putih-putih ber-imamah (sorban yang diikat bulat pada kepala), berjanggut, berjidat hitam, ataupun bercelana cingkrang selalu dianggap keras. Selalu saja untuk mencounter variasi Islam demikian dimunculkan narasi "Islam itu nilai, bukan kearab-araban",  "Islam tak harus berjubah", atau dengan ledekan celana kebanjiran, jenggot kambing, pakaian ninja, dan lain-lain.
        Padahal apa iya, tampilan fisik menggambarkan tampilan hati? Apa iya dengan berpenampilan seperti itu atau memiliki pemahaman keagamaan wahabi auto Islam radikal yang mengancam kedaulatan negara? Apa iya semua wahabi itu keras, tidak ramah, tidak bisa diajak dialog untuk pembangunan bangsa? Skizowahabia. Sekali lagi skizowahabia.
        Skizowahabia di sini saya meminjam istilah dalam psikologi yakni skizofrenia yang merupakan gejala halusinasi, delusi dan gangguan berpikir pada seseorang. Dimana dalam konteks sosial keagamaan di sini menjadi sebuah gejala baik pada individu ataupun sosial yang mana mereka berilusi bahwa seseorang itu wahabi, atau identik wahabi. Padahal belum tentu wahabi, pikiran dan pandangan orang yang terkena skizowahabia inilah justru yang membutakannya dari dialog, tabayyun, dan berdamai dengan orang yang diimajinasikan sebagai wahabi.
        Jika ditelaah lebih mendalam, sebenarnya dari skizowahabia ini akan melahirkan sikap-sikap intoleransi. Apalagi jika masih memiliki banyak asumsi negatif dan tidak membuka pintu komunikasi dengan kalangan yang memang mereka biasa dicap wahabi. Padahal  dalam pandangan orang yang dicap Wahabi menganggap dirinya adalah salafi (golongan penjaga kemurnian Islam).