Masih dalam rangkaian cerita kejogjaan, ada kisah menarik lain dibalik perjuangan tinggal di Jogja. Selain daripada sebelumnya pernah saya ceritakan tentang ritual tahunan kefilsafatan. Jadi umatnya Agus Mulyadi. Satu lagi yang belum diceritakan, Ziarah Muhammadiyah.
      Pada dasarnya, dengan tegas saya bisa menyatakan kalau saya bukan Nahdliyyin maupun warga Muhammadiyah. Mau Anda sebutkan organisasi lain pun seperti Persis, SI, PUI, sama sekali saya bukan "bagian" dari mereka. Ekstremnya, saat kelas empat SD dalam pelajaran sejarah ketika ada cerita mengenai perjuangan NU yang dalam buku tersebut dikatakan NU sebagai bagian gerakan Islam dalam kemerdekaan. Saya dengan PD-nya sebagai anak kecil mengacungkan tangan ingin berargumen di depan guru saya, pak Ade namanya, "pak, saya mah Islam, bukan NU. Islam mah Islam we, gak ada NU atau Muhammadiyah". Masih teringat dengan nada bicara yang naik, mungkin juga wajah memerah beliau marah "bapak ge muslim tapi oge NU (bapak juga muslim tapi juga NU). Teu mesti lamun NU berarti lain muslim (gak mesti kalau NU bukan muslim)". Sungguh kelakuan yang lucu jika diingat. Masa-masa ketika ingin main GTA tapi tidak kesampaian. Hanya bisa ikut menonton kawan bermain PS 2 di rumahnya atau di rental PS.
      Pemikiran sebagai "Islam as Islam doank" itu agaknya dipengaruhi oleh ceramah-ceramah subuh Ayah. Meskipun selalu diawali oleh rasa malas dan jengkel pada Ayah yang berwajah Arab tur berjanggut panjang warna-warni hitam, putih, dan merah kekuning-kuningan. Ibu dan Ayah selalu mengobati kekesalan itu dengan membelikan jajanan khas Sunda bernama dodongkal. Semacam kue Putu Ayu berbentuk kotak hijau digaris-garis oleh gula aren, ditaburi parutan kelapa di atasnya.
      Memang kenyataannya demikian, keluarga saya tidak punya identifikasi ke golongan Islam manapun. Sehingga ketika anak kecil yang ngarep main GTA di rumah itu bertanya tentang, "Pak, Kita ini NU atau Muhammadiyyah?". Ayah menjawab dengan simplifikasi, "yah, kita mah Islam. Islam mah Islam we, gausah dicampur baurkan dengan urusan itu".
      Baru kemudian seiring bertambahnya usia dan banyak dialog dengan Ayah. Selubung misteri "keorganisasian" keluarga dijawab Ayah dengan perkataan berikut, "Kita secara amaliyyah mengikuti orang NU, tapi secara berfikir mengikuti orang Muhammadiyyah". Beliau juga sempat bercerita mengenai amanat dari Ayahnya (kakek saya) untuk tidak mengikuti salah satunya. Berbeda dengan saya, Ayah tidak pernah memberi amanat demikian. Sehingga saya sebagai yang berkesempatan mengenal keagungan dua organisasi ini otomatis ngalap "berkat" dari keduanya.
      Apalagi setelah mengetahui bahwa adik dari kakek saya, KH. Tohir Azhari, merupakan sesepuh Muhammadiyyah. Tentu saja sebuah kesempatan yang tidak boleh dilewatkan bukan? Meskipun KH. Ahmad Dahlan pernah berkata juga sih: "Hidup-hidupilah Muhammadiyyah, jangan cari hidup di Muhammadiyyah!". Tapi rasa kehilangan karena tak pernah bertemu almarhum kakek yang merupakan kakaknya KH. Tohir itu di usia kesadaran telah terbentuk, ingin ada sosok lahir yang bisa dianggap sebagai kakek. Tentu saja posisi tersebut digantikan oleh KH. Tohir Azhari. Usil ngalap berkat bercampur dengan rasa butuh pada sosok kakek.
      Maka, kesempatan di semester genap 2019 untuk pergi ke Jogja tentu dimanfaatkan sebaik mungkin untuk menggali dan musyahadah tempat bersejarah Muhammadiyyah. Berdasarkan film dan buku yang pernah dibaca, tentu masjid kauman yang terkenal dengan upaya KH. Ahmad Dahlan meluruskan kiblat masjid jadi tujuan utama. Jika masjidil haram, dan masjid nabawi beribu-ribu lipat pahalanya apabila Kita melaksanakan salat disana. Bagi saya melaksanakan salat di masjid kauman setidaknya beratus-ratus lipat.
      Dekat gerbang masuk, tepat seberang masjid, ada toko Suara Muhammadiyyah yang buka. Dengan wajah takjub dan bahagia saya tak ambil pusing untuk belanja disana. Sebagai warga Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah baru nan nakal, dalam fikir saya berujar, "kalau orang masang foto Syekh Abdul Qadir Jailani, aku akan pasang foto tokoh-tokoh Muhammadiyyah di kamar". Maka saya belilah potret KH. Ahmad Dahlan, potret Nyai Ahmad Dahlan yang sampai saat ini bajakan filmnya belum saya dapat, KH. Din Syamsuddin sebagai mantan ketua IPNU yang pernah menjabat ketua PP Muhammadiyyah, juga "Gus Dur"-nya orang Muhammadiyyah yakni KH. AR. Fakhruddin. Juga buku panduan tempat-tempat bersejarah Muhammadiyyah di Jogja tak saya lewatkan untuk dibeli.
      Saya yang lagi seneng-senengnya ziarah ketika itu, terlintas dalam pikiran "nanti kalau ada kumpul keluarga harus ada cerita nih ke Aki Toto (panggilan saya pada KH. Tohir Azhari). Saya bakal tahlil di makam KH. Ahmad Dahlan". Ceritanya saya hendak ngeprank kakek saya yang notabene saat mudanya lantang membid'ahkkan tahlilan. Padahal pesantren Sukahideng tempat saya mondok juga sempat dicap pesantren Muhammadiyyah hanya karena ada suatu masa pimpinan pesantrennya berfatwa tahlilan bid'ah. Padahal beliau kalau tak salah sempat menjabat Rois Syuriyyah PCNU Tasikmalaya  di masa hidupnya. Hanya saja saya termasuk santri nakal yang  iseng masuk tarekat agar bisa tahlilan di kampung. Sehingga semenjak bertarekat seringkali saya iseng juga tahlil di kuburan beliau yang membid'ahkan tahilan ini, huehue.
      Nah, berangkatlah dari kauman itu ke pemakaman KH. Ahmad Dahlan. Saya cari alamatnya di buku tempat bersejarah Muhammadiyyah tadi, juga cari di google maps. Setelah sampai, saya tak banyak tanya ke warga sekitar karena memang sudah niat iseng. Terlihat ada makam berjejeran di depan seperti orang-orang khusus. Tertulis di nisannya ada KH. Ahmad Dahlan yang juga sebaris dengan KH. AR. Fakhruddin.