Mohon tunggu...
Mukhlis Syakir
Mukhlis Syakir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Nyeruput dan Muntahin pikiran

Mahasiswa Pengangguran yang Gak Nganggur-nganggur amat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kemerdekaan Beragama, Kemerdekaan Berislam, dan Negara Bangsa

18 Agustus 2023   23:06 Diperbarui: 20 Agustus 2023   11:35 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemerdekaan Beragama, Kemerdekaan Berislam, dan Sistem Nation State

                Tulisan ini merupakan refleksi dari Khutbah Jum'at tertanggal 18 Agustus 2023. Khatib membahas bagaimana memaknai kemerdekaan ini. Setidaknya titik penekanan khatib tadi ialah kepada bagaimana nikmat beribadah dapat Kita lakukan sebagai berkah kemerdekaan. Berbeda dengan negeri-negeri yang yang masih berkecamuk perang. Ibadah tidak tenang, mempelajari agama pun perlu upaya menyelamatkan nyawa.

                Hal yang sama terjadi setidaknya beberapa tahun ke belakang di negeri Barat bagi penganut Agama Islam. Islamophobia terlebih pasca tragedi 11 September 2001 selalu menjadi pemicu kesalahpahaman di Barat terhadap Islam. Terlebih gerakan-gerakan terorisme yang menjamur di Timur Tengah dimana mereka mengatasnamakan Islam. Turut menyumbang ketakutan Barat terhadap Islam. Tak usah jauh-jauh, tragedi bom bali, bom di JW Mariot, dan lainnya di Indonesia pun demikian.

                Setidaknya, umat Islam yang berada di luar perlu mengeluarkan upaya lebih daripada Kita yang berada di Indonesia. Maupun negeri-negeri muslim yang cenderung aman dan damai. Misalnya, untuk melaksanakan peribadatan di masjid saja mereka belum tentu menemukannya. Kalaupun ada, terbatas di kota-kota besar dan kota tertentu. Tidak seperti Kita yang agaknya satu kampung saja sudah ada lebih dari satu masjid.

                Keprihatinan umat Islam demikian bukan berarti Kita respon dengan sombong bahwa negeri dengan mayoritas Islam menjamin kebebasan beragama. Kita deal-dealan saja, iyakah penganut agama lain sudah merasa aman? Sudahkah mereka merasakan kebebasan beragama? Apakah mereka juga kesulitan mencari tempat beribadah seperti halnya umat muslim di Barat?

                Saya rasa, penolakan-penolakan pembangunan tempat beribadah agama selain Islam seperti gereja menunjukkan bahwa kemerdekaan beragama di Kita belumlah merata. Okey, di beberapa kota besar mungkin sudah tidak seperti demikian. Tapi seperti yang pernah viral di Pandeglang kalau tak salah. Kala itu Tretan Muslim dan Pendeta Yerry Pattinasarany sampai harus turun ke lapangan sana untuk membela hak-hak Kristen yang hendak membangun bangunan peribadatan.

                Pun dalam berislam, orang yang hendak melaksanakan ajaran Islam dengan ekspresinya. Secara jelas tidak terlepas dari Islamophobia di kalangan umat Islam itu sendiri. Cap sok suci, sok alim menunjukkan Kemerdekaan Berislam pun masih perlu dipertanyakan. 

Termasuk Saya sendiri yang pernah terbawa arus mudah menuduh radikal pada orang lain beradasarkan hal luaran saja. Sampai saat ini masih sensitif ketika melihat orang bercadar, bercelana cingkrang, berjubah, dan lain-lain dari ekspresi keberislaman ala Arab. Pun kalangan sebaliknya masih ada yang sensitif ketika melihat Islam tradisionalis yang berturban, bersalawat kejawaan, ataupun lainnya. Kemerdekaan berislam justu langkah awal menuju kemerdekaan antar agama.

                Indonesia sebagai sebuah negara modern yang berlandaskan kesamaan bangsa semestinya bertanggung jawab atas kemerdekaan-kemerdekaan ini. Kalau perlu diberi bantuan untuk membangun gereja misalnya. Seandainya ada sebagian mayoritas muslim yang protes. Telah dicontohkan kok oleh Sultan Muhammad al-fatih saat menaklukkan konstantinopel. Tentang bagaimana sultan membangun gereja sebagai ganti dari Hagia Sophia yang dirubah menjadi masjid.

                Meskipun memang jika harus jujur-jujuran, pada peristiwa futuh makkah memang ada gerakan penghancuran berhala yang secara tidak langsung menunjukkan kekejaman pada agama lain. Tapi juga futuh makkah, serta hadis yang kurang lebihnya, "seandainya Aku tidak terusir dari Makkah dan diperintahkan untuk hijrah. Sungguh Makkah adalah terbaik bagiku". Dimana hal tersebut menunjukkan bahwa rasul sendiri memiliki nasionalisme sebagai seorang Quraisy Makkah.

                Konsep Nation State, atau negara bangsa yang dalam tafsir saya negara berdasarkan kebangsaan memang termasuk pada konsep kenegaraan modern. Berbeda dengan abad pertengahan yang konsepnya mengacu pada agama. Seringkali orang yang memiliki sudut pandang persatuan agama untuk mempersatukan antar bangsa belum bisa menerima ini.

Baca juga: Munajat Move On

                Orang-orang yang tidak bisa menerima konsep nasionalisme atau negara bangsa ini diantaranya berdalih dengan bagaimana Muhammad di Madinah mempersatukan anatara Suku Aus dan Khazraj. Dimana mereka sebelum datangnya Islam sering berseteru. Bagaimana juga diperasatukannya antara Muhajirin dan Anshar. Padahal jika dikritisi, meskipun mereka bersatu tetap saja identitas asal mereka tetaplah ada.

                Apakah ketika Kita berislam maka identitas kebudayaan asal Kita hilang begitu saja? Saya rasa tidak. Buktinya rasul menghargai Khalid bin Walid yang menyukai dhab atau biawak padang pasir untuk dimakan, sedangkan beliau memilih tidak. Rasul menghargai kultur sahabat yang berlatihan beladiri di masjid. Rasul juga menghargai strategi perang parit yang dibawa oleh Salman al-Farisi dari Persia.

                Semua itu menunjukkan bahwa menjaga kebudayaan yang tantunya tidak akan terlepas dari rasa kebangsaan adalah normal. Juga justru memperkaya Islam itu sendiri. Dalam peristilahan Ushul Fiqh sering diakatakan al-'aadah al-muhakkamah. Jika diartikan maka adat (tentu saja adat yang baik (ma'ruf)) bisa menjadi hukum.

                Konsep nation state ini juga menjawab persoalanbangsa yang saling memperebutkan dominasi kekuasaan Islam selama ratusan dahulu. Mulai dari Abbasiyyah yang didukung oleh para a'jamiy (non-Arab) untuk melawan Umayyah, saling rebutnya antara orang Persia dan Turki dalam kekuasaan Khilafah Abbasiyyah, dominasi Turki zaman Dinasti Utsmani sehingga ada konflik dengan pribumi Arab. Maka dengan konsep negara bangsa, setiap bangsa dibiarkan bertanggung jawab atas bangsanya itu sendiri.

                Maka, dalam mengawal kemerdekaan ini. Marilah naik kelas ke kelas ikut merasakan bagaimana saudara Kita yang dari agama lain sulitnya beribadah, merasakan bagaimana orang Islam yang nyaman dengan ekspresi keberislamannya, bahkan jika perlu menuntut pemerintah yang menaungi seluruh kepentingan bangsa untuk membumikan kemerdekaan sila pertama yang sesungguhnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun