Mohon tunggu...
Mukhlis Syakir
Mukhlis Syakir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Nyeruput dan Muntahin pikiran

Mahasiswa Pengangguran yang Gak Nganggur-nganggur amat

Selanjutnya

Tutup

Politik

Upaya Politik Erdogan Melalui Film yang Selalu Salah Kaprah Dipahami

8 Juli 2023   18:48 Diperbarui: 11 Juli 2023   22:21 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Upaya Politik Erdogan melalui Film yang selalu salah kaprah dipahami

            Judul ini salah satu pikiran lama yang bergelantungan di antara sel-sel otak saya selama beberapa tahun terakhir ini. Pikiran ini lama ditahan karena saya selalu memperhitungkan latar belakang saya yang tidak memiliki sertifikat ilmu politik ataupun sebangsanya yang berkaitan dengan bahasan ini sama sekali. Akan tetapi, rasanya lama-kelamaan jika tidak diekspresikan mulai mengganggu keseharian juga.

            Ya, mungkin juga karena sudah terlalu gemes dengan para fans film Turki seberang dan penggemar budaya Turki yang terlalu mengglorifikasinya dengan kebangkitan Islam. Terlepas dari benar atau tidaknya, dan memang sengaja saya tidak mencari referensi ilmiah untuk membantahnya. Dari banyak film sejarah Turki yang sudah banyak diproduksi oleh Turki seperti Dirilis Ertugrul (Kebangkitan Ertugrul), Uyanis Buyuk Selcuklu (Kebangkitan Seljuk Agung), Payitaht Abdul Hamid (Ibukota: Abdul Hamid), dan masih banyak lagi sebenarnya film yang berkaitan dengan Turki. Sangatlah meleset. Justru yang terjadi ialah semacam upaya Turkifikasi gaya baru dari rezim Erdogan.

            Berbeda dengan Mustafa Kemal Ataturk yang menggunakan cara ekstrim, Erdogan menggunakan cara yang cenderung tidak memaksa. Pendekatan kultural ini memberikan pesan bawah sadar kepada orang-orang Turki dalam level global. Berbeda dengan Ataturk yang Turkifikasinya dengan merubah segala hal yang berbau Arab, untuk di-Turki-kan seperti adzan dan Qur'an yang berbahasa Turki, Aksara Utsmani menjadi Latin Turki, pelarangan menggunakan Fez (kopiah merah khas Turki) serta surban, dan lain-lain.

            Upaya Erdogan tersebut terlihat pada pesan-pesan tersirat, maupun tersurat pada film-film tersebut. Btw, film-film sejarah Islam dan Turki tersebut sebenarnya selalu jaringan berkesinambungan yang itu-itu lagi. Meskipun berganti-ganti saluran, produser, atau Sutradara, pada dasarnya semua berada pada jaringan Erdogan. Kalau tidak di stasiun Televisi pemerintah Turki TRT (semacam ANTARA), Mehmet Bozdag yang sudah biasa membiangi proses pembuatan serial genre sejarah Turki secara besar-besaran. Biasanya selalu berada dibalik layar dari proses pembuatan film di luar TRT. Atau tidak terlepas dari Produser ES film yang disutradarai oleh Emre Konuk.

            Balik lagi, isi pesan yang diselipkan pada film tersebut biasanya seperti ini:

Pertama, mengkisahkan masa lalu bangsa Turki yang berasal dari Asia Tengah atau Pegunungan Altai. Dalam film-film tersebut biasanya disisipkan bagaimana kisah perjalanan bangsa Turki yang nomaden, untuk mencari tanah yang layak ditinggali. Ada salah satu peribahasa Turki yang kurang lebih seperti ini:

" Dimana pun bumi dipijak oleh orang Turki, disanalah tanah air berada" atau "dimana darah telah tumpah, disanalah tanah air berada".

Kedua, selalu menyandingkan Islam dan Turki. Dalam percakapan, meskipun secara literal bisa diwakili "demi Islam", ataupun bahasa-bahasa kemuliaan agama lainnya. Mereka lebih memilih frasa yang menyandingkan Turki dan Islam.

Ketiga, lebih mudah bekerjasama dengan sesama bangsa Turki meskipun Kafir. Dalam beberapa bagian dalam film Kurulus Osman (Kebangkitan Osman) misalnya, ikatan antara Suku Kuman dan Suku Kayi (suku cikal bakal Turki Osmani) cenderung mudah dibentuk karena kesamaan suku. Kerjasama antara Dinasti Seljuk, Ghazna, dan Karakhanid untuk melawan Dinasti Buwaihiyyah yang berlatar Syiah dan Persia juga contoh lainnya.

Keempat, tidak mendeskriditkan Attaturk ataupun gerakan modernisasi ekstrim Turki lainnya. Dalam serial-serial sejarah yang latarnya Turki modern, mereka tidak ada tuh menghina Attaturk ataupun gerakan Turki muda. Bahkan dalam serial Abdul Hamid II, Sultan mengisyaratkan mendukung gagasan modernisasi Turki Muda. Justru juga sultan-lah yang ikut mendanai pelajar-pelajar Turki untuk kuliah di Jerman, Prancis, London, dan kota besar Eropa lainnya.

            Jadi, glorifikasi Erdogan sebagai khalifah baru-lah, menghidupkan kembali kejayaan Utsmani-lah, desekularisasi lah. Bagi saya, tidaklah tepat. Justru ia memetamorfosiskan ide Attaturk dengan skala yang lebih tinggi. Yakni Unifikasi Bangsa Turki yang sudah terpecah menjadi beberapa negara. Bukan upaya unifikasi menjadi satu negara republik ya.

            Hal tersebut terlihat dalam pembelaan Erdogan atas Bangsa Uyghur yang masih rumpun Bangsa Turki. Disamping alasan sesama muslim juga tentunya. Lebih jelas lagi pada pembelaan Erdogan atas Azerbaijan pada konflik Nagorno-Karabakh. Bahkan Mantan Presiden Turki, Azeri Heydar Aliyev juga pernah menyebut negaranya dan Azerbaijan sebagai "satu bangsa-dua negara" (bir millet ikinci devlet) dalam potitioning antara Azerbaijan vs Armenia.

            Secara ril, kerja sama ini sudah terbentuk pada Organization of Turkic States (Organisasi Negara-negara Turki. Secara kebudayaan, Mehmet Bozdag, produser film Turki juga tengah bekerjasama dengan pemerintah Uzbekistan dalam menggarap film Mendirman Jalaloddin (I am Jalaloddin) yang menceritakan tentang Jalauddin Mengburnu alias Sultan dari Kekaisaran Khawarzizmea. Pan-Turkisme yang dirawat oleh Erdogan ini sangatlah menarik dan masih jarang dibahas oleh fans Turkinesia.

            Jika ditarik ke konteks Indonesia, sebenarnya Soekarno juga pernah menggagas Pan-Malayan sebagai upaaya penyatuan rumpun melayu. Terbukti pada "ikut campur"-nya Soekarno pada urusan Singapura dan Malaysia yang hendak merdeka dari Inggris sempat menjadi peristiwa sejarah tersendiri. Bahkan hingga ada upaya bom bunuh diri oleh tentara Indonesia di Singapura.

            Pertanyaannya sekarang, mampukah Indonesia dan negara-negara rumpun Melayu untuk menciptakan organisasi Melayu sehingga tidak ada "rebutan budaya". Ataukah cukup dengan ASEAN saja?

           

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun