Jadi, glorifikasi Erdogan sebagai khalifah baru-lah, menghidupkan kembali kejayaan Utsmani-lah, desekularisasi lah. Bagi saya, tidaklah tepat. Justru ia memetamorfosiskan ide Attaturk dengan skala yang lebih tinggi. Yakni Unifikasi Bangsa Turki yang sudah terpecah menjadi beberapa negara. Bukan upaya unifikasi menjadi satu negara republik ya.
      Hal tersebut terlihat dalam pembelaan Erdogan atas Bangsa Uyghur yang masih rumpun Bangsa Turki. Disamping alasan sesama muslim juga tentunya. Lebih jelas lagi pada pembelaan Erdogan atas Azerbaijan pada konflik Nagorno-Karabakh. Bahkan Mantan Presiden Turki, Azeri Heydar Aliyev juga pernah menyebut negaranya dan Azerbaijan sebagai "satu bangsa-dua negara" (bir millet ikinci devlet) dalam potitioning antara Azerbaijan vs Armenia.
      Secara ril, kerja sama ini sudah terbentuk pada Organization of Turkic States (Organisasi Negara-negara Turki. Secara kebudayaan, Mehmet Bozdag, produser film Turki juga tengah bekerjasama dengan pemerintah Uzbekistan dalam menggarap film Mendirman Jalaloddin (I am Jalaloddin) yang menceritakan tentang Jalauddin Mengburnu alias Sultan dari Kekaisaran Khawarzizmea. Pan-Turkisme yang dirawat oleh Erdogan ini sangatlah menarik dan masih jarang dibahas oleh fans Turkinesia.
      Jika ditarik ke konteks Indonesia, sebenarnya Soekarno juga pernah menggagas Pan-Malayan sebagai upaaya penyatuan rumpun melayu. Terbukti pada "ikut campur"-nya Soekarno pada urusan Singapura dan Malaysia yang hendak merdeka dari Inggris sempat menjadi peristiwa sejarah tersendiri. Bahkan hingga ada upaya bom bunuh diri oleh tentara Indonesia di Singapura.
      Pertanyaannya sekarang, mampukah Indonesia dan negara-negara rumpun Melayu untuk menciptakan organisasi Melayu sehingga tidak ada "rebutan budaya". Ataukah cukup dengan ASEAN saja?
     Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H