Subuh hari di Caffe Basa-basi Sorowajan, melihat konten Youtube tentang lalu lalang melanglang buananya Gus Dur dari Al-Azhar, ke Baghdad. Dari Belanda ke Sorbone. Pulang ke Indonesia membawa arus Demokrasi. Mengingatkanku pada sosok Ayah tercinta yang juga "eksotik.
      Meski hanya hidup di kota lalu lalang Jakarta -- Bandung sebelum ada tol Cipularang. Yakni Cipanas, Cianjur namanya. Kota Dolar julukannya. Revolusi Iran yang ia dengarkan melalui radio BBC menginspirasi Ayah untuk merevolusi lingkungan sekitar menuju masyarakat Islam.
      Digulingkannya Rezim Reza Pahlevi dengan gerakan keagamaan yang dipimpin oleh Khomenei menjadi inspirasi sebagian besar umat muslim di dunia kala itu. Termasuk Ayahanda yang radikal dalam beragama. Rebel dalam melawan apa yang tidak sesuai dengan agama yang diyakininya. Yang dalam term khas nya ia. "Kita harus berislam secara kaffah".
      Meskipun Khomenei secara akidah berlawanan. Aku yang kala SMA masih seorang sunni merasa terheran. Mengapa Ayah tidak merasa takut dengan dominasi kekuatan Syi'ah di Iran pada Indonesia, sebagai akibat dari revolusi oleh Imam Syi'ah itu. Disela tukar cerita dengan Ayah di tahun 2015 membahas revolusi Iran, alam pikiran dan lingkunganku sedang galak-galaknya pada paham Syi'ah. Dengan bumbu-bumbu kasus guru yang ketahuan Syiah, Perang Arab-Yaman, juga MUI yang gencar melawan Syi'ah.
      Aku sempat bertanya, "apa ayah tak tahu kalau Iran itu negeri Syi'ah?". Jawaban Ayah "tahu". Tapi baginya, tidak semudah itu mengaggap sesat terhadap Syi'ah. Terlalu banyak varian dan variabel yang sulit dijangkau dari Syiah. Entah karena tidak ngaji Jauhar Tauhid yang terkenal dengan Sunni-nya atau apa. Setidaknya, selama membawa semangat keislaman, Ayah tak memandang arus kebaikan itu datang dari golongan mana.
      Dalam kontemplasi, aku mencari akar dan darah apa yang membuat ayah bisa demikian. Ketika sadar pada garis keilmuan beliau. Ternyata KH. Abdullah bin Nuh-lah yang mempengaruhi alam pikiran ayah. Dalam salah satu karyanya, memang Kyai yang dikenal dengan Ajengan Enoh itu pernah berkata (Aku muslim sunni dan syafi'iyyah). Tapi di suatu kesempatan saat datang ke Iran pun beliau pernah berkata " ". Ya, daripada Gentur dan Jambudipa, Kami sekeluarga lebih cenderung pada modernitas al-Azhar yang dibawa oleh Abdullah bin Nuh. Seorang ulama sekaligus komandan Peta karesidenan Bogor yang juga ikut berkontribusi pada berdrinya STAI di Yogyakarta yang sekarang bermana UII.
      Ayah pernah bercerita, bagaimana seorang diri menjadi siswa dengan celana panjang saat ia sekolah SD. Sedangkan aturan ketika itu mengharuskan siswa sekolah untuk bercelana pendek melebihi lutut. Ia rela dihukum oleh gurunya meskipun semua orang tahu siapa orang tuanya. Tidak ada diskriminasi anak siapa, rela dimarahi, dan tetap teguh pada ajaran Islam yang diyakini. Rebel yang sesungguhnya.
      Permasalahan hijab yang tidak menutupi seluruh rambut selalu menjadi concern-nya saat itu. Baginya hijab itu harus menutupi seluruh rambut. Tidak asal-asalan. Sedangkan saat itu , hijab belum trend seperti sekarang. Kalau pulang ke rumah, lalu ada Quraisy atau Najwa Shihab, acap kali ia sedih dengan pernyataan Prof. Quraisy yang merelatifkan hukum menggunakan kerudung. Dan saat itulah, nafsu membela pak Quraisy dalam hatiku selalu menantang Ayah untuk berdebat.
      Terlepas dari keras kepala pemikirannya, keteguhannya memang tiada tara. Sempat kuliah di IAIN Bandung, kampanye hijab demi "Islam Kaffah" versinya terus berlangsung. Sempat ada dosen yang menegur karena kebijakan orde baru saat itu. Tetap saja, bagi Ayah syari'at tetap syari'at. Beberapa gerakan mahasiswa dari berbagai golongan mendekatinya, membujuknya untuk menjadi kader mereka. Tapi Ayah tetap teguh pada wasiat netralitas yang diemban.
      Sebagai konsekuensi, karakter keras kepala itu turun kepadaku. Bagiku, tidak ada batasan ketika harus berdebat dengan Ayah. Tidak ada sumuhun dawuh (iya-iya di depan, beda di belakang) atau ABS. Apalagi satu persatu Ayah dari kawan-kawanku mulai hilang secara lahir dari kehidupan mereka. Maka bagiku, berdebat adalah cara mengobati rasa kangenku yang bertahun-tahun jauh dengan Ayah.
      Kini, berada di Yogyakarta yang juga hasil keras kepalaku harus aku terima. Demi apa? Demi melayani kehidupan Ayah yang tak sempat berkelana jauh mencari ilmu. Demi tak jadi seperti Ayah dalam Islam kakunya. Tapi demi melanjutkan pula umurnya yang terbatas dalam mencari kebenaran. Sebagai penutup, seandainya saya sempat bicara pada Habib Industri Aku akan berkata: