Mohon tunggu...
Mukhlis Syakir
Mukhlis Syakir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Nyeruput dan Muntahin pikiran

Mahasiswa Pengangguran yang Gak Nganggur-nganggur amat

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Si Paling Toleransi: Dua Kali Idul Fitri di Yogyakarta (Cerita Lebaranku Tahun Ini)

3 Mei 2023   06:20 Diperbarui: 3 Mei 2023   06:23 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salam-salaman di Lebaran ke-2 (dokumen pribadi)

            Setelah semua masyarakat Salat 'Id disalami, barulah masyarakat berkumpul melingkar sambil makan-makan camilan ringan. Ada rempeyek, bakmi lapis kulit pisang, agar-agar, dan lain-lain. Jemaah yang berada diluar masjid berkumpul diatas Tikar Jawa. Bapak-bapak berkumpul di dalam masjid. Anak muda duduk berjajar diluar sambil ngudud.

            Tak selang berapa lama kemudian, ketua pengurus Masjid Al -- Ma'unah Saren mengundang masyarakat untuk makan-makan di rumahnya. Belum habis makan camilan, Aku dipaksa untuk makan di dalam rumah. Terutama karena qadha takbiran malamku dari subuh sampai Salat 'Id dimulai.

            Makanan yang tersedia di rumah bapak ketua itu tak jauh berbeda dengan rumah tokoh masyarakat MJS pada Idul Fitri pertama. Lontong sebagai makanan pokok selain ketupat setidaknya kekhasan tersendiri yang baru Aku temukan dan tidak ada di Tasikmalaya maupun Cianjur selama lebaran. Opor senantiasa menjadi teman nasi yang wajib di setiap rumah saat Idul Fitri. Hanya saja ada beberapa makanan pendamping nasi yang berbeda. Di masyarakat Idul Fitri pertama ada berbagai olahan daging. Di masyarakat Idul Fitri kedua juga sama, hanya tidak sebanyak di tempat pertama seperti ketiadaan sate, digantikan dengan Soto Ayam.

            Selain itu, ada fenomena-fenomena lain di Jogja selama Idul Fitri. Seperti jalanan yang lenggang, toko-toko yang tutup selama seminggu setelah lebaran. Juga puncak kemacetan saat sehari sebelum takbiran.

            Jogja memang sempat ramai dengan isu UMR terendah di Pulau Jawa. Tapi ternyata tidak seperti yang selalu ada dipikiran bahwa orang mengejar sekolah di Jogja. Banyak pula yang mencari nafkah disana. Namun sepinya Jogja menimbulkan suasana tenang yang mengesankan bahwa Kota Jogja tengah menghirup udara segar nan tenang sebelum nanti Syawwal dipenuhi lagi dengan orang-orang yang datang beserta masalahnya.

            Dua kali Idul Fitri di perantauan ini terlepas dari hukum fiqihnya sangatlah mengesankan. Menunjukkan bahwa warna Jogja bukan hanya diwarnai oleh cat para pendatang. Khususnya dalam Kanvas Islam, warna-warna cat itu sudah ada oleh penduduk asli Jogja itu sendiri.

           

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun