Jadi, kalaupun dengan berpikir Kita "kafir". Itu jauh lebih mulia daripada beriman tapi stagnan. Beriman yang stagnan berpikir ini justru bisa jadi merupakan bentuk kekufuran pada nikmat berpikir. Terlepas dari kesadaran akan kemampuan berpikir. Toh batas kemampuan itu sendiri apakah memang batas atau justru batas yang diada-ada?
Manusia sebagai animal rationale sebagaimana Syaikh Aristoteles sampaikan atau masyhur dikalangan ulama Kitab Kuning hayawanun naatiqun yang artinya hewan yang berpikir. Dengan berpikir Kita sudah menjelaskan perbedaan Kita dengan makhluk lain yang tak berpikir. Kalau tak berpikir, merumputlah sana, demikian kasarnya.
Hanya saja, berpikir bukan suatu stelan bawaan begitu saja dari pabrikan Tuhan. Kalaupun iya, perlu ada maintainance agar tetap jernih dan berkembang menjadi akal sempurna. Disinilah pentingnya mempelajari filsafar sebagai ilmu (bukan produk berpikir) dan logika. Untuk menjaga dari kesalahan cara berpikir, bukan hasilnya.
Lalu bagaimana dengan orang-orang yang kepalang "kafir" dan tak sempat memperbaiki pola berpikirnya? Jawabannya ialah toh masalah kafir dan beriman itu hakikatnya kehendak Allah. Jangan takut! Allah yang akan bertanggung jawab dengan apa yang diperintahkannya. Kecuali sudah menemukan kebenaran tapi tetap menolak. Justru ini yang dinamakan Kafir alias menolak kebenaran.
Disini yang bertanggung jawab justru orang yang tau orang lain salah tapi tetap diam. Sama saja dengan ia tengah mellihat orang lain yang akan masuk ke jurang. Tapi ia biarkan orang itu meskipun tak berniat sehingga masuk ke jurang. Orang tau yang cuek inilah yang lebih buruk daripada kafir, karena memuluskan tugas setan.
Bukankah rahmat dan ampunannya lebih luas daripada siksaannya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H