Mohon tunggu...
Mukhlis Syakir
Mukhlis Syakir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Nyeruput dan Muntahin pikiran

Mahasiswa Pengangguran yang Gak Nganggur-nganggur amat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Bahagia Sejak Dini

12 Februari 2023   07:32 Diperbarui: 12 Februari 2023   07:35 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sejak kecil Kita diajarkan tentang kebahagiaan. Sebagai salah seorang yang dibesarkan di lingkungan muslim, jargon "Bahagia dunia akhirat" sudah menjadi doktrin yang mendarah daging. Terlepas dari asumsi ataupun keyakinan bahwa Bahagia itu merupakan fitrah. Doktrin "Bahagia dunia akhirat" saya akui tak bisa lepas dan sulit dilepaskan bagi saya hingga kini.

"Bahagia dunia akhirat" bisa menjadi jargon, bisa menjadi template, dan yang sudah pasti menjadi doa sapu jagat bagi muslim golongan manapun. Menjadi doa sapu jagat dengan redaksi . Bahkan menjadi lagu, juga menjadi yel-yel bagi anak TK.

Namun, apakah terus doa sapu jagat ini akan menjadi template? Menjadi doa gaspol kala sibuk datang menyerang? Menjadi doktrin buta tanpa membuka mata akan kontekstualisasi makna?

Bagi suatu golongan yang memang "sudah" Bahagia, jargon ini menjadi pengekalan status sosial mereka. Sudah Bahagia disini dalam artian terpenuhi hajat primer kemanusiaan maksudnya. Pengekalan dengan bergaya hidup mewah, tapi jomplang dengan kondisi sekitar.

Bagi golongan yang lain, yang berada dalam garis sosial cukup bahkan sulit memenuhi kebutuhan primer. Bahagia akhirat yang tersirat sejati, do'a ini menjadi candu atas kondisi sosialnya. Menerima dengan "ikhlas" atas kondisi yang ada, lupa pada bagian pertama dari do'a.

Tapi, sejatinya memang tak semudah itu untuk memahami kebahagiaan. Semua berhak memiliki konsepnya sendiri, semua memiliki kadarnya tersendiri, juga semua memiliki konteksnya tersendiri. Tak bisa disamakan.

Akan tetapi, bagi insan yang beriman, keberadaan akhirat tak terelakkan. Akhir dari kehidupan dunia ini, surgakah, nerakakah, atau ada diantara keduanya. Akhir dari kehidupan atau akhirat dengan beragam konsepnya cukup disepakati di kalagan beragam manapun.

Dan tentu saja, dalam hal kesepakatan akan akhirat ini jika kembali kepada kebahagiaan. Tentu akhir yang Bahagia dalam kesejatian akan adanya akhir kehidupan dunia menjadi kebahagiaan puncak nan sejati. Maksudnya, Bahagia sejati ialah Bahagia di akhirat nanti.

Sudah banyak ahli agama yang menjelaskan bagaimana kebahagiaan sejati itu adanya. Bagaimana kebahagiaan sejati itu harus diraih. Bagaimana kebahagiaan sejati memerlukan penderitaan yang pedih.

Penderitaan pedih dalam artian mengurangi berbagai macam tuntutan Hasrat, dan syahwat duniawi. Berkorban, dalam rangka menaklukkan diri dari berbagai macam tuntutan berlebih. Dengan menjalani berbagai ritual semacam puasa, shalat, pergi ke gereja pada waktu banyak siaran kartun seru di pagi hari, juga mungkin bagi yang muslim menahan nonton sinetron maghrib untuk pergi ke pengajian di mushola.

Memang iya perlu berkorban untuk mendapatkan sesuatu yang berharga. Memang iya tiket ke surga tidak segeratis dicabut nyawa. Toh kain kafan dan peti mati pun harus dibeli.

Hanya saja, haruskah terus menderita seumur hidup dengan menekan Hasrat dan syahwat? Lalu bermunafik diri dengan embel-embel "lihat saja nanti sesudah mati". Atau munafik tidak, tapi membohongi diri dengan meyakin-yakinkan yang dibuat-buat iya.

Meski tak salah dan itu benar, alangkah baiknya jika Kita Bahagia sejak dini. Bahagia semenjak berada di dunia. Mengakui dan mengamini bahwa Hasrat dan syahwat itu bagian dari diri Kita selama di dunia.

Sehingga tidak terjadi ledakan syahwat sebagaimana yang terjadi pada beberapa guru agama yang berlaku pelecehan seksual beberapa akhir ini. Atau pada beberapa orang yang tak lama lagi akan meledakkan nafsu buka puasa di bulan Ramadan. Atau justru pada Kita yang pol-polan beribadah sunnah di bulan Ramadhan kemudian hilang di bulan Syawwal.

Bahagia sejak dini, Bahagia sejak mengucap bismillah di awal pagi. Lalu bertemu alhamdulillah di lelapnya tidur.

Yang takak lama kemudian, di pagi hari berikutnya si Kita kebingungan lagi. Tak Bahagia lagi seperti hari kemarin. Lalu gelisah lagi dan bertanya-tanya. "Apa sih , Bahagia itu?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun