Hanya saja, haruskah terus menderita seumur hidup dengan menekan Hasrat dan syahwat? Lalu bermunafik diri dengan embel-embel "lihat saja nanti sesudah mati". Atau munafik tidak, tapi membohongi diri dengan meyakin-yakinkan yang dibuat-buat iya.
Meski tak salah dan itu benar, alangkah baiknya jika Kita Bahagia sejak dini. Bahagia semenjak berada di dunia. Mengakui dan mengamini bahwa Hasrat dan syahwat itu bagian dari diri Kita selama di dunia.
Sehingga tidak terjadi ledakan syahwat sebagaimana yang terjadi pada beberapa guru agama yang berlaku pelecehan seksual beberapa akhir ini. Atau pada beberapa orang yang tak lama lagi akan meledakkan nafsu buka puasa di bulan Ramadan. Atau justru pada Kita yang pol-polan beribadah sunnah di bulan Ramadhan kemudian hilang di bulan Syawwal.
Bahagia sejak dini, Bahagia sejak mengucap bismillah di awal pagi. Lalu bertemu alhamdulillah di lelapnya tidur.
Yang takak lama kemudian, di pagi hari berikutnya si Kita kebingungan lagi. Tak Bahagia lagi seperti hari kemarin. Lalu gelisah lagi dan bertanya-tanya. "Apa sih , Bahagia itu?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H