Â
Sumber Gambar: PixabayÂ
Mengapa setiap tinta harus menetes pada aksara berdarah mesra
Mungkinkah jagad ini  dikendalikan oleh nafsu membabibuta
Atau penyair yang mengabdi pada dewa amor sampai berpeluh- peluh Â
Mengapa setiap tinta harus menetes pada aksara di atas telaga  syhawat
Ataukah penyair mati rasa melihat bebalnya negeri
Sehingga  burung pelatuk memahat gunung karang menjulang ke angkasa
Mengapa setiap ujung pena harus menari di atas kisah  menggairahkan jiwa
Ataukah para pemahat aksara menyembah  ego sampai bego tak mampu mengeja tanda
Bukankah  penyair itu bekerja dengan tatapan batin meneropong dalam angan?
Â
Wahai penyairku...
Maafkan Aku telah membuka tiraimu malam ini
Tak mampu bersuara lantang karena jasadnya terhimpit di parit- parit besi
Wahai penyairku...
Hunuskan mata penamu ke medan laga
Ayo tebas geraham- geraham baja menerkam setiap inci isi negeri
Berhenti mengais kasih di balik aksara bernapas rindu berwarna ungu
Â
Maafkan Aku wahai penyair....
Aku hanya menyambung lidah- lidah berdebu ltak paham cara berlagu
Lhokseumawe, Â 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H