Oleh: Mukhlis, S.Pd., M. Pd.
Sejak tahun pemilu mulai berdentang, orang - orang sibuk mengulas dan menganalisis siapa calon pemimpin Indonesia ke depan. Dilihat sekilas, mereka seperti ahli politik pada acara Talk Show yang ditayangkan di televisi swasta nasional dewasa ini.
Padahal ketika ditilik lebih jauh, ternyata referensi politik yang digunakan adalah media Tiktok dan Facebook. Media tersebut belum jelas informasi yang dibicarakan, akan tetapi mulut mereka berbusa - busa mengupas politik yang berkembang.
"Politik basi ala warung kopi" itu versi penulis yang berkembang dewasa ini. Tanpa modal yang cukup mereka menjadikan dirinya raja di warung kopi dalam debat sarung yang diluncurkan.
Anehnya, debat sarung yang tidak jelas mana atas dan mana bawah hanya membicarakan calon presiden dan wakil presiden.
Pertanyaannya mengapa pemilihan legislatif sepi seperti ditelan waktu. Hanya sampah -sampah visual milik sang caleg yang berceloteh mengumbar janji di atas panji dalam nuansa warna?
Lebih lanjut, mengapa masyarakat tidak tertarik sama sekali mengulas dan membahas tentang calon legislatif, baik secara personal atau program yang ditawarkan?
Pemilihan Calon Legislatif Dilaksanakan Serentak dengan Capres Cawapres
Ketika pemilihan capres-cawapres dilaksanakan bersamaan dengan pemilihan legislatif, maka gaung capres- cawapres lebih bergema.
Trend ini membuktikan bahwa, masyarakat masih menaruh harapan pada pemilihan capres- cawapres tersebut. Selanjutnya, figur dan geografis yang menjadi topik dalam pemilihan caleg sangat berbeda.
Secara geografis, masing -masing daerah memiliki figur yang ikut kompetisi pada pemilihan calon legislatif ( Pileg) untuk mendapatkan kursi sebagai anggota DPR baik' tingkat kabupaten/ kota, provinsi maupun nasional. Masing- masing figur merebut hati konstituen di daerah dengan caranya masing - masing.
Hal di atas akan berbeda dengan pemilihan capres- cawapres. Dalam konteks pemilihan ini figur yang dipilih menjadi pusat perhatian masyarakat. Ketika figur tersebut sudah menyita perhatian masyarakat dengan sendirinya figur tersebut menjadi virus aktual ( virtual) di setiap media.
Setiap figur capres -cawapres yang menjadi pusat perhatian publik diikuti secara nasional oleh masyarakat . Apalagi para publik figur tersebut terkenal dekat dan bersahaja di media sosial.
Apabila dibandingkan dengan tokoh yang mengikuti pemilihan calon legislatif (caleg) pada semua tingkat hal ini tidak akan sebanding. Bahkan, mereka calon legislatif (caleg) yang ada di daerah menjadikan capres -cawapres sebagai branding untuk.ikut kompetisi. Ini banyak dijumpai pada baliho- baliho yamg dipasang di pinggir jalan . Foto -foto capres - cawapres disandingkan dengan foto calon legislatif (caleg)
Pada pemilu yamg dilaksanakan secara serentak , brand ini seringkali didapati dalam kehidupan demokrasi. Pertanyaannya mengapa hal ini bisa terjadi?
Pengolala partai politik tidak melkukan kaderisasi secara sistematis, sehingga partai politik terkesan tidak siap ikut kompetisi.
Kadang -kadang masyarakat terkejut dan bertanya, tiba- tiba orang yang "Selama ini biasa saja dan tidak populer kini menjadi luar biasa ", saat ini sudah terpampang fotonya di baliho. Pada foto tersebut bertuliskan " Mohon Doa dan Dukungannya" Ini suatu hal aneh ketika seorang muncul secara spontanitas untuk dipilih jadi perwakilan rakyat.
Tokoh -tokoh yang muncul secara mendadak seperti jamur di musim hujan, membuat masyarakat jengah terhadap hal ini. Dahulu, setiap calon yang ingin ikut pada pemilihan legislatif sudah dibina dan dikaderisasi secara berjenjang. Proses ini telah mendewasakan dan menjadikan calon tersebut dikenal dalam kehidupan masyarakat.
Sselanjutnya, dampak yang muncul dari penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) secara serentak adalah rendahya tanggapan dan sambutan terhadap keberadaan caleg. Secara sepihak, ini menimbulkan masalah dari caleg itu sendiri, baik yang pertahana maupun yang sedang berjuang menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Bagi caleg pertahana, pemilihan secara serentak bukan hal yang membingungkan. Ini dikarenakan ketika mereka menduduki jabatan sebagai pertahana sudah menyemaikan bibit- bibit demokrasi kepada konstituennya. Program -program unggulan yang mereka laksanakan pada daerah pemilihan telah menjadikan para caleg tersebut terkesan di hati konstituen.
Program- program yang telah disalurkan melalui aspirasi ketika mereka menjabat telah menjadikan sebagai kontrak politik yang terselubung. Walupun mereka melaksanakan program pemerintah, akan tetapi di tangan merekalah rakyat bisa menikmati dana pembangunan yang dianggarkan.
Permasalahan ini telah menjadikan "Politik Balas Budi" antara caleg dengan masyarakat pada setiap daerah pemilihan. Kunjungan - kunjungan yang dilakukan oleh anggota dewan pada saat reses telah memperpanjang masa aktif bagi mereka di masa yang akan datang. Artinya, para caleg membutuhkan waktu, tenaga, dan dana yang cukup untuk bertahan atau naik tingkat pada keanggotaan selanjutnya.
Janji Palsu Para Caleg Menggerus Kepercayaan
Setiap calon legislatif (caleg) pasti memiliki visi dan misi yang disampaikan kepada konstituen dalam setiap pemilu. Visi -misi tersebut biasanya dalam jangka panjang selama lima tahun ke depan.Namun, pengalaman para konstituen selama ini banyak janji diucapakan tidak logis dan tidak sesuai harapan masyarakat.
Janji yang diberikan oleh setiap caleg, setelah dianalisis banyak yang tidak logis. Janji- janji di luar kewajaran ditulis pada panji- panji yang dipasang di pinggir jalan. Ada juga janji yang diberikan bukan dalam kapasitasnya selaku calaon legislatif (caleg).
Apalagi kadang janji yang diberikan bersentuhan dengan kebijakan nasional. Para caleg yang memberikan janji seperti itu daerah pemilihannya berada pada level kabupaten/kota ( ini sesuatu yang tidak mungkin terwuhud). Kalau Ia terpilih para konstituen akan menagih janji tersebut.
Mengacu pada janji yang dipasang pada panji -panji politik banyak yang membuat masyarakat tergelitik. Mereka tidak sadar bahwa janji yang diberikan akan ditagih pada saat Dia terpilih.
Kemudian ada lagi caleg yang mengganggap janji -janji politik hanya sebagai rakit untuk menuju seberang. Pada saat Ia sampai di darar rakit tersebut ditinggalkan begitu saja. Setelah menjadi anggota dewan Dia akan diam seribu bahasa. Lima tahun kemudian saat pemilu datang memyapa Ia akan bertandang menjual "lagu lama yang.memggoda"
Simpulan:
Melihat perkembangan akhir- akhir ini bahwa pemilihan capres dan cawapres lebih familiar dalam kehidupan masyarakat daripada pemilihan caleg. Bagaimanapun kondisinya baik berhubungan dengan pelaksanaan maupun dengan figur yang ditampilkan. Seharusnya kedua momen tersebut mendapat tempat yang sama dalam dalam kehidupan masyarakat.
Sebagai pemimpin yang akan mengelola negeri pada bidang yang berbeda yaitu ekskutif dan yudikatif harus menjadi prioritas di mata masyarakat. Kepada para caleg, hal ini harus dijadikan evaluasi ke depan terutama pada waktu menyampaikan janji dan visi -misi sebelum menjadi anggota dewan.
Apabila hal ini turut dijadikan perhatian utama para caleg dapat dipastikan bahwa di masa yang akan datang walaupun pemilihan umum dilangsungkan secara bersamaan pasti mendapat sambutan yang sama di mata masyarakat. Pengalaman tahun ini dijadikan sebagai referensi pada pemilu selanjutnya. sehingga pemilihan caleg tidak tergerus oleh pemilihan capres cawapres .
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI