Berbekal  keterampilan tersebut, Aku diizinkan untuk tinggal di bengkel sebagai rumah kos sekaligus tempat ku mencari susuap nasi untuk mempertahankan hidup. Intinya apabila Aku tidak mengikuti perkuliahan, maka Aku bisa mengerjakan tugas bengkel.
Pada malam hari Aku selalu belajar dengan rajin. Hal ini penulis lakukan agar mimpiku dapat tercapai. Selama 4 tahun berjalan dengan segala duka dan suka akhirnya Aku berhasil menyelesaikan masa kuliah dengan nilai IPK yang sangat memuaskan.Â
Aku berpikir dengan mengantongi selembar ijazah bertuliskan gelar sarjana semua urusan kehidupan jadi beres. Ternyata perjuangan hidup baru dimulai.
Dengan semangat baja Aku terus belajar dan menempa diri. Saat itu Aku mencoba mengajar di sekolah sebagai guru honorer. Sebagai guru honorer juga  ini termasuk awal perjuangan panjang menjadi guru sebenarnya guru selama 5 tahun.Â
Di tengah konflik politik yang melanda provinsi Aceh, Aku tetap bertahan diantara dentuman mesiu dan meriam.
Tahun 2004 tanggal 26 Desember Bumi Aceh luluh lantak akibat gempa dan tsunami. Bumi bergoyang, laut muntah lahar, orang -orang berenang tanpa pakaian.Â
Ribuan mayat berdesak- desak mencari liang lahat. Antre berderet -deret di sungai dan pemukiman penduduk. Ribuan juga orang  bersama dipanggil pulang.
Negeri berubah total, guru -guru hilang ditelan tsunami dan konflik yang berkepanjangan. Akhirnya , keadaan berputar arah, damai Aceh tercapai. Aceh diinstall ulang pembangunannya di semua lini termasuk pendidikan.Â
Aku  ikut testing jadi PNS. Alhamdulillah  lulus dan mengabdi untuk negeri seperti dalam kisah ini. ****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H