Mohon tunggu...
Muklis Puna
Muklis Puna Mohon Tunggu... Guru - Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe

Penulis Buku: Teknik Penulisan Puisi, Teori, Aplikasi dan Pendekatan , Sastra, Pendidikan dan Budaya dalam Esai, Antologi Puisi: Lukisan Retak, Kupinjam Resahmu, dan Kutitip Rinridu Lewat Angin. Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi IGI Wilayah Aceh dan Owner Sastrapuna.Com . Saat ini Bertugas sebagai Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan Senja Mengapit Bulan

22 Desember 2023   11:55 Diperbarui: 22 Desember 2023   13:15 675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Sumber gambar: Dokumen Pribadi 

Sejuta " Kenapa" melilit di pinggangku. Aku terjebak dalam nafsu dunia, hingga Kau terlupakan bunda,  pikirku.  Seandainya bisa kulit  dan tulang ini kupisahkan dari jasad , maka akan kujadikan sebagai jembatan dan selimut agar Kau tidak digigit binatang jalang saat melintasi hidup. Seandainya hukum membolehkan, maka air mata kerinduanmu  akan kutampung dalam kolam kasih sayang dan ku jadikan sebagai wudhu ku dalam menyembah-Nya, 

Ah... begitu panjang dan menyedihkan lamunan ini.  Tiba-tiba  Aku sudah sampai di persimpangan menuju arah masuk ke rumah ku. Rumah yang  sudah kutinggalkan selama tiga puluh tahun lebih. Masih teringat pada kenangan, ketika Aku  masih  sekolah di  SMA, mengayuh sepeda butut   dan   kuparkir di simpang tersebut. Mungkin dengan sepeda butut dan Doa dari perempuan senja itu Aku bisa seperti ini hari ini.    Dengan uang jajan pas-pasan Aku mencoba bermain-main dengan harapan waktu itu . Namun  lewat belaian ibu dan makanan yang disiapkan untuk Aku sekolah, makanya Aku bisa seperti ini. Masih terngiang di telinga, ketika  jam 5 pagi Aku dibangunkan untuk salat dan sarapan pagi. Semua itu dilakukan dengan rasa tanggung jawab dan keikhlasan. Dengan jumlah anaknya sampai  sebelas orang  Ia mampu  memberikan    kasih sayang kompleks. 

Bagi Kami anak-anaknya, Ibu adalah seperti matahari yang tak pernah membedakan kadar sinarnya yang diberikan  kepada kami. 

Perjalananku menemui perempuan senja dan pacar pertamaku  dalam hidup  tak terasa sudah sampai  di depan mata.    Lewat  perasan rindu yang begitu dalam dan sejumlah harapan menerawang  dalam pikiran.   Rumah panggung tempat Aku dilahirkan dan dibesarkan masih berdiri kokoh di depan ku. Dari kaca mobil Aku menyaksikan kondisinya sudah mulai rapuh , maklum rumah itu  sejak ditinggalkan oleh Ayahanda selama  20 tahun lalu mulai tampak lusuh dan kelelahan menanggung hidup,  Perlahan Aku masukkan mobil ku ke halaman rumahku.

Seperti juga waktu sebelumnya, ketika Aku pulang menjenguknya , Aku selalu mencari dirinya.  Bagiku yang terpenting adalah  dalam kondisi apapun ketika Aku sampai ke rumahku Aku tetap menemuinya untuk pertama kali . Aku telah mengharamkan untuk  tidak bersalaman dengan siapapun kecuali dengan dirinya.   Rasa rindu yang menyerang  kalbu  membuat Aku semakin menggebu-gebu ingin bertemu dengan dirinya.   Ketika itu kucari Dia kesana-sini, Ia  tak ada ,  lalu kupanggil Dia " Assalamualaikum..Ibu!  Ibu... ! " Aku pulang Bu" Namun tak ada jawaban. Perasaanku semakin kacau dan cemas. Aku mulai kuatir tentang keberadaanya. 

Astagfirullah..!  Bertapa terkejutnya diriku, rupanya Dia sedang tidur di atas kursi panjang tempat dimana Ia selalu menungggu diriku pulang.  Betapa hancur hati dan pikiranku, ketika kusaksikan tubuhnya yang begitu melemah dan lesu. Perlahan kubangunkan Dia "Ibu..! Aku Pulang." sejurus kemudian Ia terkejut dan bertanya " Siapa ya?"  Maklum kondisi matanya yang sudah kabur dan ditutup kulitnya yang mulai keriput.  Ketika Ia mendengar suaraku, baru tersadarkan bahwa itu Aku yang pulang.   Begitu Dia melihat Aku...  tak dapat dibayangkan apa yang terjadi.  Seperti tanah kemarau rasa yang didatangi musim hujan. Dia langsung memelukku dan mencium ku berkali- kali. Dalam pelukan eratnya Dia meracau" Kenapa lama sekali  Nak Engaku menjengukku?  Tadi pagi baru saja ku panggil namamu Nak.  Ada kamu dengar nak?" Rupanya Ia berhalusinasi dalam kerinduan. 

Aku tak bisa berkata apa- apa,  dadaku tersumpal keharuan. bibirku kebas- kebas hanya pelukan hangat yang kurasakan . Sesungguhnya  Ia selama ini sedang mengapit bulan, dan bulan itu adalah kehadiranku  dalam pelukannya.  Dalam keheningan dan kerinduan kucoba menghibur dan mendengarkan segala keluh kesah yang dialami.  Sambil manggut-manggut Aku menjadi pendengar yang baik tentang penyakit yang Dia derita selama ini.   

Setelah suasana mulai mencair,Aku mohon izin untuk melanjutkan perjalanan menjemput cinta keduaku yang  sudah libur dari kuliah dan kembali lagi bersamamu selama satu bulan****

Penulis adalah  Pemimpin Redaksi  Jurnal Aceh Edukasi dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawee

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun