Mohon tunggu...
Muklis Puna
Muklis Puna Mohon Tunggu... Guru - Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe

Penulis Buku: Teknik Penulisan Puisi, Teori, Aplikasi dan Pendekatan , Sastra, Pendidikan dan Budaya dalam Esai, Antologi Puisi: Lukisan Retak, Kupinjam Resahmu, dan Kutitip Rinridu Lewat Angin. Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi IGI Wilayah Aceh dan Owner Sastrapuna.Com . Saat ini Bertugas sebagai Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengapa Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Memunculkan Dilema?

26 November 2023   10:51 Diperbarui: 1 Desember 2023   08:08 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi penambahan kuota untuk SMA/SMK di Jateng. Foto: Achmad Hussein Syauqi/detikJateng

Oleh: Mukhlis,S.Pd..M.Pd 

"Tuntutlah Ilmu Sampai ke Negeri China",


Hadist  di atas,  kini tidak  dapat lagi direalisasikan pada kehidupan belajar. Hal ini jika dirujuk pada keputusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 51 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) untuk tahun ajaran 2019/2020. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy menegaskan bahwa PPDB tahun 2019 merupakan bentuk peneguhan dan penyempurnaan dari sistem zonasi yang sudah dikembangkan. Sekilas peraturan ini bertujuan menciptakan pemerataan kesempatan belajar- mengajar dari warga sekolah yang ada.

Penulis tidak menafikan bahwa setiap keputusan sebelum di SK -kan sudah melewati kajian  mendalam dan melibatkan pakar pendidikan yang mumpuni. Namun yang menjadi pertanyaan besar adalah mengapa hal ini hanya  diberlakukan pada sekolah sekolah umum semisal  Sekolah Menengah Atas ( SMA).

 Agar tulisan ini lebih berhaluan mengikuti alur pikir pembaca,penulis mencoba membuka tabir ini dengan opini" Sebaiknya Pemerintah harus menata ulang proses zonasi sekolah yang sudah berlangsung  sejak beberapa bulan terakhir".


Sebagaimana diketahui publik bahwa tujuan utama pendidikan nasional secara eksplisit adalah memanusiakan manusia. Maksudnya menjadikan manusia dari tidak berkarakter menjadi manusia seutuhnya. Manusia seutuhnya adalah manusia yang mampu melanjutkan tugasnya sebagai khalifah dalam mengisi pembangunan sesuai dengan tujuan para pendiri negeri (founder of the country). 

Bagaimana hal tersebut  dapat terwujud, jika pendidikan berada dalam kotak nyaman yang jauh dari kekuatan kosmopolit dan heterogen.  Bukankah manusia berperadaban adalah manusia yang berkumpul pada satu tempat atau wadah  yang masyarakatnya berasal dari berbagai latar belakang  dan pola pikir berbeda   memunculkan sebuah budaya modern?

Mengikuti perkembangan zonasi sekolah yang digaungkan pemerintah, telah menimbulkan kesenjangan belajar  dan kesenjangan sosial dalam dunia pendidikan hari ini. Carut -marut proses Penerimaan Peserta Didik Baru  (PPDB) di kota - kota besar menghiasi media masa dan media sosial. Betapa orang  tua siswa  bersusah-susah berdesak desakan  menanti berkas  anaknya yang  diambil  panitia  penerimaan siswa  baru.

 Kadangkala setelah mandi  keringat  di bawah  busuran  matahari tidak  sedikit  yang  merasa kecewa.  Fenomenal seperti ini baru  kali  ini  terjadi dalam  proses pendidikan kita. Memang betul sebuah hal  baru  menuai kontroversi,  tapi  tidak menjadi  polemik  dalam  kehidupan berbangsa dan bernegara  khususnya  dalam bidang  pendidikan.  

Dalam  konteks lain  membangun  bangsa ke depan  adalah  seyogyanya membangun sistem pendidikan yang  lebih  manusiawi dan  bermartabat  dengan  tidak mencederai  pendidikan  itu  sendiri sebagai  rahim kemajuan  suatu bangsa.  Penyamarataan  kualias pendidikan  yang digadang -gadang selama  ini  hampir salah kaprah. 

Fakta -fakta  kasat  mata  telah  diketahui  bersama  di antara  para  pemangku  kebijakan dalam  dunia pendidikan.  Zonasi  sekolah  yang  diberlakukan     pendidikan  khususnya  pada sekolah  umum  memunculkan  efek  domino  bagi  dunia pendidikan  dan  pemerintah.
 
Hilangnya Sekolah Favorit dalam Percaturan Pendidikan


Sekolah  favorit  merupakan  sekolah  yang  diidolakan  oleh  semua  orang tuaku dan  siswa.  Dianggap favorit  Karena memenuhi beberapa indikator di antaranya,  tersedianya sarana  dan  prasarana  yang  mendukung proses  belajar  mengajar, tenaga  pengajar  yang professional di berbagai  disiplin  ilmu serta  output  yang dihasilkan  memenuhi harapan  orang  tua  dan mudah diterima di berbagai perguruan  tinggi  bonafit  di negeri  ini.

Di akhir  pembelajaran  tahunan  ketika nilai -nilai  Ujian Nasional (UN)  siswa anjlok secara  nasional  dan  tingkat  provinsi,  biasanya sekolah  favorit  tampil  sebagai  aksi  penyelamatan  wajah  pemerintah.  " Wah  ternyata pendidikan  negeri ini  tidak seburuk yang  dibayangkan ya? masih  ada  peserta  didik kita  yang  bisa  ini dan itu,  " Kalau  ditelusur lebih  jauh  ternyata mereka  yang  telah diproses dengan  sistem  yang  akurat  dan  valid.  Menanggapi  hal  tersebut  seharusnya  pemerintah  bukan masuk  ke dalam  zona  sekolah,  namun  harus  mencari  jalan  keluar  atau  terobosan  baru  untuk  menjadikan  sekolah  biasa  menjadi  sekolah favorit.

Hemat  penulis dengan  APBN  yang  tinggi  dan  tingkat  prosentase  yang  diterima  dunia  pendidikan  cukup  tinggi, rasanya  tidak  ada  kata  tidak mungkin untuk  hal ini.  Untuk  mencapai hal  ini  transparansi menjadi  pokok pembicaraan  dalam  pengelolan  pendidikan. Jika  dilihat  sekilas  ide  seperti ini  mungkin tidak  diterima akal  sehat,  namun  jika  akal  sehat  berfunngsi dengan  sempurna masalah  seperti ini  akan  menyehatkan jiwa.  Ke depan,  pendidikan  Indonesia  akan menjadi  rujukan  bagi  negara  lain  seperti Finlandia  saat ini.  Tidak  perlu  berpanjang  haluan  mengupas  hikayat  pendidikan Finlandia,  tapi  cukuplah  kita  tidak  bertindak  sebagai  pengikut,  akan  tetapi bagaimana kelak kita akan ditiru dan  digugu.  Bukan  mencontek namun  sekali- kali  boleh  dong  kita  dicontek.. He.. he..

Melipat Jarak Sekolah  Membenam Kualitas


Entah  kenapa  filosofi di atas penulis pikir cocok  dengan  kondisi zona  sekolah  yang  sudah  diberlakukan  di negeri  ini.  Sekolah- sekolah  dalam  rentang  geografi  dapat  dilipat  oleh sistem  ini.  Artinya   peserta  didik  dan  orang  tua  tidak  perlu menghitung  jarak  menempuh  jalan  berkelok menuruni  bukit  dengan  sepatu  belepotan  lumpur  menjemput  pengetahuan  sebagai  bekal  hidup,  karena  sistem zonasi sekolah sudah  hadir  di halaman rumahnya.

 Masalah  kualitas  pada  momen  seperti  ini  bukalah hal  yang  diperhitungkan.  Mungkin  seide  dan  serama dengan  tujuan  zonasi  sekolah  yaitu  menyamaratakan  kesempatan  belajar  bukan  kualitas  dari  hasil belajar. Mungkin  juga konsep  yang  dipakai  pemerintah  adalah  pemerataan  pendidikan  bagi setiap warga  negara,  sehingga  sekat - sekat  pendidikan  dijadikan alat  untuk  mencapai  tujuan .


Dengan  menjauhkan  kualitas pendidikan dalam  mencapai  tujuan  pemerataan dan  menjadikan  pendidikan  seperti  buah  simalakama. Sistem  belajar  dalam  satu  komunitas  jauh  dari  majemuk  akan  sulit  memunculkan pendidikan  yang  bermanfaat.  Penulis  tidak  ingin  menuduh  bahwa  ini  sebuah  eksperimen nasional  dalam  mencari bentuk  pendidikan Indonesia. Sudah  menjadi  rahasia  publik  di negeri  ini   bhawa setiap  ganti  menteri  selalu  sistem  pendidikan menjadi  objek  material untuk mencapai tujuan tertentu.

Fokus  Pendidikan   Menengah  Atas (SMA) Tergerus    SMK

Ketika sistem zona sekolah didengungkan, nasib Sekolah Menengah Kejuruan ( SMK) mulai naik daun. Walaupun sebelumnya  jenjang  ini  sudah dibuat  skala  40 : 60 ( 40 % untuk SMA dan 60  % untuk SMK). Tumpah -ruahnya alumni  SMP/ MTs  sederajat  berlomba menuju gerbang sekolah SMK , salah satu penyebab adalah sistem zonasi sekolah yang  tidak berimbang. Entah bagaimana kajian yang dilakukan, sehingga untuk jenjang SMK /MA bebas dari zonasi sekolah? Hampir semua sekolah jenjang SMA menjerit,  karena imbas zonasi sekolah. Mereka mulai kekurangan rombel. Minimnya rombel yang diperoleh tanpa penyaringan yang tepat berimbas juga pada tenaga pengajar dan proses pembelajaran  yang ada di tiap sekolah.

Tunjangan sertifikasi yang selama ini berada pada titik aman akhirnya  berantakan. Hal ini diperparah dengan pengakuan jam mengajar tenaga honorer yang dikelola provinsi. Jam mengajarnya dituntut 24 jam sama dengan jam mengajar PNS.  Pada kondisi  seperti  ini muncullah guru kejar paket. Maksudnya guru tidak lagi mengajar pada satu tempat dengan jam mengajar minimal 24 jam sesuai (SOP) yang ada.

Hampir rata --rata guru SMA sejak zonasi sekolah diberlakukan mereka harus mengajar dua atau tiga sekolah dalam satu minggu pembelajaran. Belum  lagi untuk pelajaran tertentu yang tidak ada jam sama sekali akibat  pergantian kurikulum dan zonasi sekolah. Pertanyaan besar yang harus dijawab  apakah program zonasi sekolah yang diberlakukan  selama ini sudah pada posisi tepat  atau malah merusak tatanan pendidikan yang selama ini berlangsung enjoy- enjoy  aja?

Simpulan:

Akhirnya sebagai  penutup  tulisan  ini  walupun  terasa  kritis,     penulis  tetap  menyarankan  solusi bagi perbaikan  pendidikan  negeri  ini.  Sebaiknya  pemerintah melalui Kementerian  Pendidikan  mengkaji  ulang Permen  No 51 Tahun  2019, agar  tujuan  Pendidikan  Nasional  mampu  memanusiakan manusia.  Sesuai  dengan  filosofi di atas yaitu  Tuntutlah Ilmu Sampai ke  Negeri China.  

Padahal   Nabi Muhammad Rasulullah SAW  sebagai  pakar  pendidikan  sejagad sudah  meletakkan  pondasi  awal  dalam  hal  belajar  tanpa  dibatasi  zonasi. Pepatah  itu  digaungkan  empat  belas  abad  yang  lalu.  Sebagai  generasi bangsa  yang  punya atensi  terhadap  kemajuan pendidikan kenapa  harus  keluar  dari  pendahulu  kita  yang  dijadikan referensi  dalam  belajar. Filosofi "Belajarlah  Sampai  ke Negeri China  Kini  Pupus  Ditelan  Zonasi  Sekolah. 

Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun