Sebagian dari mereka merasa ragu dan tidak siap ketika ditanyakan bagaimana kesiapan yang dilakukan dalam menggunakan hak pilih pada pemilihan umum tahun 2024. Ada keraguan yang muncul untuk menjawab pertanyaan tersebut. Hal ini tampak pada kekakuan yang ditampakkan.
Ketidaksiapan ini juga dipengaruhi oleh faktor pengetahuan tentang hak pilih yang akan digunakan. Pengetahuan sebagai pemilih dalam menggunakan hak konstitusi belum dipahami secara benar. Kondisi seperti inilah yang sering dimanfaatkan oleh para calon politik untuk meraup suara dari pemilih pemula.
2. Sosok Para Capres dan Cawapres di Mata Pemih Pemula
Ketika penulis mengajukan pertanyaan lanjutan siapa sosok capres dan cawapres yang menjadi idola untuk dipilih pada pemilihan umum tahun 2024. Dengan mata saling menatap sesama dan rasa percaya diri, mereka menjawab dengan serentak tokoh yang mereka idolakan. Mendengar hal tersebut, penulis jadi bergairah untuk mengoreksi alasan yang berbeda dari setiap jawaban yang diberikan.
Satu persatu argumen membusur dari mulut -mulut polos tentang tokoh yang akan dipilih nantinya. Ada diantara mereka menjawab dengan lugas kenapa pasangan calon itu dipilih. Seperti politikus ulung mereka memaparkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh pasangan calon idola mereka. Argumentasi yang diberikan lengkap dengan fakta dan data secara rinci.
Hal ini membuat penulis terkesima seolah-olah penulis sedang menonton Indonesia Lawyer Club (ILC )di Televisi Swasta Nasional.
Diskusi yang penulis lakukan dengan mereka berlangsung akrab, sehingga bagaimana pola pikir mereka dan persepsi terhadap pasangan calon presiden dan wakil presiden terganbar jelas. Perbedaan pilihan diantara mereka pun tidak menimbulkan konflik sedikitpun.
Hal ini menunjukkan bahwa walupun mereka pemilih pemula tapi sudah dewasa  dalam menanggapi sebuah perbedaan pilihan.Â
Seketika penulis mencoba membenturkan cara berpikir mereka tentang pasangan capres dan wapres, mereka hanya menanggapi dengan dingin. Suasana masih akrab tidak tampak adanya konflik.
Penulis memahami bahwa kecerdasan berpikir mereka tentang pemilihan umum khususnya pemilihan presiden, lebih bijak daripada orang tua yang menggunakan taklik buta (mengikuti membabi buta) tidak menggunakan akal sehat dan evaluasi. Mungkin inilah perbedaan generasi Z dalam memahami dan menghadapi agenda politik di Indonesia.
3. Pola Pikir Pemilih Pemula Dibentuk Oleh Media Teknologi