Sama halnya dengan puisi. Setiap puisi yang telah diposkan di media sosial berarti itulah puisi satu satunya di dunia yang berkarakter seperti itu. Walupun tema, judul dan bentuk memiliki kesamaan, dari segi lain hal tetap menunjukkan perbedaan.
1. Bentuk Puisi
Mengupas bentuk puisi di hadapan para pembaca hebat di media sosial, seperti mengajarkan ikan  bagaimana sih cara berenang yang benar agar tidak tenggelam di samudra kata -kata. Penulis tidak hendak menampilkan teori -teori tentang bentuk puisi. Namun penulis mencoba mencari titik temu bagaimana bentuk idealnya sebuah puisi.
Idealnya sebuah bentuk puisi adalah wadah untuk menampung semua inspirasi penyair yang dijembatani oleh bahasa sebagai medium penuangannya. Seandainya semua inspirasi yang mengantarkan sebuah tema dan pesan sampai kepada penikmat berarti itu bentuk puisi sudah ideal. Masalah dan teknik penyusunan typografi itu urusan penyair,kecuali untuk puisi kontemporer.Â
Kebiasaan puisi ini memanfaatkan bentuk sebagai media penggungkapan atau bahkan miskin dalam lambang bunyi. Di Indonesia bentuk- bentuk puisi sudah dipelajari oleh semua orang mulai dari SMP sampai perguruan tinggi terlepas suka dan tidak sukanya. Bentuknya pun berkutat seperti itu terus tak ada perubahan.
2. Gaya  Penulisan
Gaya menulis  puisi itu adalah hak asasi setiap penyair yang tidak boleh diganggu gugat. Apalagi memaksa kehendaknya untuk mengikuti gaya orang lain. Mungkin ini kedua kali penulis tegaskan bahwa penyair adalah pengabdi pada bathinnya sendiri. Ia lebih bertumpu pada batinnya daripada  otak.Â
Karena batin dijadikan landasan bersikap, maka muncullah subjektifitas dalam memandangi objek. Di mana-mana dan kapan saja antara subjektifitas tidak pernah senyawa dengan objektifitas.
Melalui bathin-bathin penyairlah lahirnya otonomi penulis dalam karya itu sendiri. Ini sesuatu yang tak boleh diurus orang lain. Kemerdekaan berkumpulnya semua gagasan dalam wadah puisi dijamin oleh ilmu pengetahuan kesusastraan dunia.
Hal ini kadang tidak disadari oleh motivator puisi di media sosial,sehingga pemaksaan kehendak sering mendominasi. Para pemosting memahami betul hal ini. Wilayah pengabdian bathin sang penyair dirasuki orang lain  akan muntahlah sebuah perdebatan panjang tak berujung.Â
Perdebatan ala sarung terus berlangsung mencari di mana tepi atas dan bawah. Masing masing memegang konsep bahwa tepi atas berada di tangannya, satu lagi juga demikian. Ujungnya tak menampakkan pangkal. Kedua belah sepakat keluar dari komunitas ataupun berujung saling blokir.
3. Bahasa Puisi
Media utama penuangan ide dalam puisi adalah bahasa. Menulis puisi berati mengolah kata bernilai rasa. Pengolahan kata membutuhkan bahasa dan diksi yang bertenaga. Puisi tanpa diksi yang bernuansa adalah teks biasa dan bernilai hambar.Â
Pertanyaannya adalah apakah puisi yang mengunakan gaya bahasa metafora berlliuk-liuk itu tidak bermakna? Apakah puisi yang mengungkapkan tentang pengalaman dan kesedihan pribadi itu termasuk puisi sampah? Â