penulis mengajukan enam pertanyaan kepada para mahasiswa sebagai calon guru tentang kemampuan membaca yang dimiliki setiap individu. Pertanyaan- pertanyaan tersebut hanya menuntut jawaban" Ya dan Tidak '
Suatu hari dalam sebuah perkuliahanPertanyaan pertama " Apakah Kalian membaca dengan bersuara? Spontan... seperti dikomandoi mereka menjawab " Ya' suara grmuruh memecahkan keheningan, menghalau suhu udara yang menguap dalam sekat-sekat kelas.
Penulis tersenyum, bibir kebas dan ngilu  dihentak geraham. Lalu pertanyaan kedua membusur mencari sasaran: "Apakah kalian membaca dengan tidak bersuara subvokalisasi (bibir komat- kamit bagai dukun dan kemenyan?"Â
Belumlah selesai pertanyaan memenuhi ruang simak, dengan serentak mereka menjawab: "Yaaa!"
Kening penulis berkerut membentuk aliran sungai- sungai kecil di jidat. Akan tetapi, dalam saraf mengundang rasa geram bersekongkol dengan kesal.Â
Penulis mencoba bersabar sambil mengajukan pertanyaan ketiga "Apakah Kalian membaca dengan menggunakan alat penunjuk? Mereka bersorak dengan jawaban "Tidaaak......!"Â
Suasana semakin ribut. Di sudut kelas seorang mahasiswa berceloteh sendiri sambil memperbaiki catatan kuliah yang amburadul.. "Ah...! Bapak ini, Kenapa itu yang ditanya. Apa tidak ada bahan kuliah hari ini?"
Mendengar celoteh tersebut penulis tidak mengubris, dengan suara agak besar penulis menyasar pada soal keempat "Apakah kalian membaca dalam posisi kepala dan bola mata berpindah-pindah mengikuti barisan tulisan?" Para peserta didik diam.Â
Mereka seperti disiksa dalam dua pilihan antara " Ya dan Tidak" Beda pendapatpun mencuat seketika. Intrik mempesuasifkan teman tampak kontras. Lobi- Lobi jawaban dilakukan lewat bahasa bola mata.Â
Melihat kondisi ini penulis tersenyum sambil berkata" Ayo cepat masih ada dua lagi pertanyaan yang harus diselesaikan!" Ya...! Jawab setengah isi ruangan, selebihnya lagi dengan berdesis di ujung lidah menjawab " Tidaaak....!( Seperti putus asa)
Nah, pertanyaan kelima adalah "Apakah kalian membaca dalam dengan regresi (membaca dengan mengulangi bacaan seketika tanpa menyelesainya terlebih dahulu, karena ada bagian yang dirasa penting)? Â
Tanpa kompromi lagi mereka menjawab " Ya".
Mengingat waktu mau menyunting perkuliahan. Penulis mengajukan pertanyaan pamungkas, "Apakah Kalian membaca dengan melafalkan kata atau per okelompok kata ( frasa)" jawaban terbelah, mereka menjawab berdasarkan pengalaman yang terhident pada diri masing masing.Â
Nah setelah semua jawaban didapatkan dari para mahasiswa. Penulis mencoba melakukan diagnosa berdasarkan pengetahuan seadanya yang merujuk pada rekaman membaca yang ada dalam folder permanen di balik kumparan urat dalam telematika saraf.
Sebelum hasil diagnosa disampaikan penulis meminta mereka mengulangi semua jawaban yang diberikan sebagai penegas supaya tidak ada dusta diantara Kami.Â
Setelah lewat serangkaian pertanyaan yang diajukan dan jawaban yang kalian berikan. Saya menyimpulkan bahwa Kalian menghidap "Penyakit Membaca"
Mendengar hasil diagnosa tersebut para pasien membaca meminta penjelasan sebagai ilmu baru dalam melakukan pencegahan ke depannya.Â
Jika kalian membaca bersuara itu adalah melafalkan huruf tanpa memahami isi teks bacaan. Dalam hal ini suara yang keluar dari mulut akan mengangu proses  recounding data yang ada dalam teks bacaan untuk disimpan di bawah alam sadar. Membaca seperti ini hanya boleh dilakukan pada tahap awal membaca untuk melatih ketepatan dan kecakapan dalam membaca.
Hal ini tidak berlaku untuk pembaca nyaring yang bertugas memberikan informasi untuk orang lain.
Membaca subvokalisasi dengan mulut komat kamit juga mengangu pemahaman pembaca terhadap teks yang dibacakan.Â
Selanjutnya, membaca regresi dan membaca perkata bukan dalam frasa dapat menganggu kecepatan membaca (KEM) jika ini dibiarkan berkembang pada setiap individu pembelajar, maka kemampuan mengonsumsi informasi dalam bentuk wacana tulis merupakan suatu kendala besar.Â
Oleh karena itu, sebagai pembaca handal hal ini harus dijadikan sebagai tolok ukur dalam membaca. Sebagai penutup tulisan ini penulis ingin berbagi sebuah petuah:Â
"Ingat bukan jumlah waktu yang dibutuhkan dalam membaca, akan tetapi kualitas membaca dan tingkat keterbacaan yang dibutuhkan dari tulisan yang berkualitas."
Oleh: Mukhlis, S.Pd., M.Pd.
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi dan Guru SMA N 1 Lhokseumawe
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H